Di negeri sono sedang berkasus jingle iklan yang dituduh menjiplak lagu popular. Kasus yang memperdebatkan masalah “sound-alike” pada hukum copyright ini melibatkan brand otomotif ternama, Audi, dengan musik milik OMC yang dimana vokalisnya adalah Pauly Fuemana yang berjudul “Land of Plenty”. Jingle iklan Audi diduga mengambil komposisi yang nyaris sama persis dengan lagu milik pelantun yang popular dengan lagu “How Bizzare”.
Dari pihak Audi nya sendiri mengakui pernah tertarik untuk menggunakan lagu milik Pauly tersebut tetapi menolak bila disebut telah menjiplak. Namun pihak dari Pauly yang diwakilkan oleh istrinya terus melakukan gugatan dan ini sudah yang kedua kalinya. Loe bisa nilai sendiri dari kedua video dibawah ini (mudah-mudahan belum diapus).
Lagu milik OMC
Iklan Audi
Memahami Perihal Sounds-alike
Dalam bermusik, inspirasi-menginspirasi-terinspirasi itu hal yang lumrah terjadi. Seorang musisi dalam prosesnya mengkomposisi sebuah karya pasti terpengaruh dengan pengalaman mereka. Entah itu mendengarkan secara tak sengaja karya orang lain atau memang karena sudah terpatri dengan gaya bermusik dari musisi lain yang dikaguminya.
David Tarigan, kolektor musik, yang gue sempet berbincang-bincang waktu silam pernah menyebutkan dalam proses “belajar” memang murid dituntun untuk “meniru” dari karya yang sudah ada. “Ini pun diterapkan di kampus kesenian, para mahasiswa dituntut untuk merasakan sendiri proses berkesenian dengan menyalin maha karya yang sudah ada,” paparnya. Stephen Webber, pengajar online di Berkleemusic, menegaskan juga kalau proses “meniru” tadi malah termasuk dalam kurikulum penting. Ia juga berkisah bahwa bukan tidak mungkin hasil tiruan tadi malah lebih terkenal daripada versi aslinya.
Sounds-alike dalam hukum hak kekayaan intelektual tidak dianggap sebagai pelanggaran karena yang namanya terinspirasi atau kemiripan bisa saja terjadi. Namun jika penggunaannya dalam sebuah iklan komersil masalahnya jadi beda. Karena kemiripan ini bisa dianggap sebagai endorsement yang tentu saja akan mempengaruhi satu nilai persepsi dari sebuah produk.
Sebuah lagu perlu dibuktikan apakah itu sounds-alike ataukah jiplakan atau terinspirasi dengan pembuktian yang melibatkan musikologis. Musikologis akan menilai apakah lagu tersebut memiliki kemiripan pada bagian melodi, progresi kunci, tempo, harmoni hingga struktur lagu. Jika memang memiliki kecocokan bisa dianggap sebagai cover version dan memerlukan ijin penggunaan dari pemilik hak cipta.
Kasus-Kasus Lain Sounds-alike
Kasus Pauly Feumana dan Audi bukanlah satu-satunya. Banyak agensi iklan (yang mungkin juga didorong klien nya yah :p) melakukan sounds-alike pada jingle iklan yang digunakannya. Alasannya bisa jadi karena tidak menemukan pemilik lagu sebenernya dari lagu yang ingin dipakai, atau bisa juga tidak terjadi kesepakatan masalah nilai yang harus dibayarkan dengan pemilik lagu. Bahkan ada juga yang punya alasan untuk memotong budget produksi iklan dan berdalih tidak melakukan salinan 4-bar yang ini juga masih perlu dibuktikan. Karena dasarnya mengambil feel dari lagu popular yang sudah ada untuk “ditempelkan” pada iklan produk yang tengah dibuat adalah cara efektif untuk mendorong pengenalan produk ke pasar.
Ada juga dari pihak musisinya yang menolak untuk lagunya digunakan dalam iklan komersil. Contohnya adalah Sigur Ros yang sempat kesal sampai nulis di blog nya tentang nasib lagu-lagunya yang dijiplak untuk iklan, sebutlah diantaranya hoppípolla. Sigur Ros memang sangat idealis untuk tidak membolehkan image band nya tampil meng-endorse produk komersil.
Atau bisa juga dengan alasan kalau produk dari iklan yang tengah dibuat tidak merepresentasikan nilai lagu yang ada. Ini terjadi pada band indie dream-pop Beach House yang lagunya kemudian mirip dengan iklan Volkswagen. Mereka menolak tawaran iklan karena menilai konsepnya tidak sesuai dengan maksud lagu tersebut dibuat. Loe bisa baca kisahnya disini.
Di website That Song Sounds Like ada banyak contoh lainnya jingle-jingle iklan yang mirip dengan lagu-lagu populer. Kirby Ferguson bahkan pernah membuat dokumenter kalau proses kreatif itu adalah penggabungan dari karya yang sudah ada dalam film yang berjudul Everything is A Remix.
Jingle Iklan Tidak Selamanya Buruk
Jangan juga dipungkiri, sebuah lagu digunakan dalam iklan komersil dapat memberikan ‘dorongan’ promosi terhadap lagu aslinya bahkan pada karir musisinya. Selain itu nilai sinkronisasinya biasanya cukup bagus untuk dilihat di rekening tabungan. Atau bahkan juga bisa aja kontrak penggunaan lagu pada jingle ini menimbulkan efek pake gratis produk yang dijajakan. Bisa jadi.
Disini, dimasa yang katanya sulit jualan CD dan sulit jualan digital, alternative menjajakan lagu buat jadi jingle produk atau brand merupakan pilihan. Kalau melihat dari adanya keinginan brand menggunakan lagu populer untuk kampanye promosinya, ini merupakan kesempatan bagus sebenernya. Selain memberikan sample lagu ke radio, mungkin juga perlu mengirimkan sample lagu ke agensi-agensi periklanan dan juga kepada brand manager perusahaan-perusahaan yang dirasa cocok untuk menggunakan lagu kita.
Major label seperti Sony Music dan Universal Music bahkan punya ‘hub’ sendiri untuk berinteraksi dengan user (pengguna) lagu seperti agensi, perusahaan, production house dan sebagainya selain radio dan televisi. Gue jadi kepikiran, kayaknya Indonesia belum ada tuh yang bikin ‘hub’ semacam ini. Padahal ini akan memudahkan untuk bertemunya pengguna dan pemilik lagu. Semacam marketplace lah!
Sebelum dijiplak terus nyesel yah ada baiknya bisa ketemu langsung dengan calon pengguna lagu. Mengurus perselisihan penjiplakan lagu di meja hijau bisa menghabiskan tenaga dan juga butuh modal buat sewa pengacara. Buat brand yang sengaja melakukan penjiplakan yah siap-siap juga bakar duit dan imej yang tercemar akibat ulahnya sendiri. Jadi kenapa sih kita nggak bisa bekerjasama?