Ini tulisan saya menjawab blog di blognya mas Soleh.
Berhubung baru kali ini saya komentar di blog orang lain panjang banget, jadi kayaknya tidak mengapa kalo tulisan saya yang panjang tadi di masukkan di blog saya juga.
http://solehsolihun.multiply.com/journal/item/33
_______________________________________________
Ttg majalah musik yah? Hmm.. Menurut gue bahasan ini juga ada kaitannya dengan peliknya politik & ekonomi di Indonesia masa ke masa. Hebatnya lagi, politik & ekonomi itu berpengaruh mendalam pada musik itu sendiri. Kenapa Koes Bersaudara/Plus sempat dipenjara? Kenapa Harmoko pernah merasakan ini era musik cengeng? Dan kenapa juga Slank menjadi ikon-pemberontak-selanjutnya pasca Iwan Fals?
Hidup mati sebuah majalah bergantung pada pembaca. Kita-kita inilah (readership) yang menentukan apakah majalah itu bisa langgeng atau tidak. Ini bukan soal jumlah sirkulasi yang keluar dan juga bukan jumlah banyak/sedikitnya iklan yang masuk. Majalah bisa bertahan karena ada pembaca.
Lalu pembaca kita adalah orang Indonesia yang ekonominya mayoritas ngepas. Belum lagi musti dihadapkan dengan masalah politik luar-negeri dan RT-RW. Jadi buat beli majalah aja musti mikir-mikir. Lagi pula kalau dilihat dari runut waktu yang dibuat mas Soleh, musik Indonesia jaman itu masih berjalan lambat. Artinya, hanya orang yang punya duit banyaklah yang bisa jadi artis. Pekerjaan artis/musisi waktu itu masih dibilang belum punya masa depan. Jadi untuk mayoritas orang Indonesia yang miskin, masih harus berpikir 1000x agar anaknya jadi musisi, lebih baik jadi tukang insinyur lah!
Disinilah majalah mati. Nggak ada yang mau jadi musisi ya nggak ada juga yang beli majalah. Tapi akhirnya orang-orang bosan dengan peliknya politik dan ekonomi. Perlahan orang-orang mencari pelarian dari kejenuhan itu. Dan musik lah yang dianggap sebagai media yang tepat untuk pelarian. Maka tak ayal era 2000an industri musik makin marak. Orgen tunggal dimana-mana. Karaoke tiap malam full. Apalagi malam minggu.
Selanjutnya, kita liat sendiri skrg kenapa RS berani untuk invest di bumi Indonesia ini. Pasti ada ‘sesuatu’. Nah, yang gue cermati ttg majalah musik era dulu sampai sekarang adalah tidak adanya kerjasama mesra nan romantis ke perusahaan rekaman atau ke artis itu sendiri. Klo diliat di Jepang, majalah Patti Patti dibeking sama label rekaman terbesar di Jepang dan sukses. Kok disini nggak ada yang berani seperti itu yah? Oh iya ada Koran Slank.. hampir lupa saya..
Btw, Music Book Selection masuk ke majalah musik ngga? Dia juga bahas ttg musik dan laku ditiru. Meski kemudian muncullah KCI sebagai pahlawan ‘kesiangan’ yang membuat industri majalah seperti ini agak jadi ser..ser.. weess.. gitu deh jantungnya.
Akhirnya, di era Information Super Highway hari ini, industri majalah di Indonesia masih menjadi abu-abu masa depannya.
komentar lama: klik
What i find difficult is to find a blog that can capture me for a minute but your blog is different. Bravo.
Ya, mungkin karena itu