Augmented Reality: Misi Penyelamatan Jualan CD/Kaset

My name is Widi Asmoro.
Lagi santai-santai di weekend kemaren, saya menemukan plurk menarik dari sahabat saya martin tentang pengaplikasian Augmented Reality untuk jualan musik. Menurut saya jika diaplikasikan akan membantu menaikkan penjualan CD/Kaset. Yah, saya masih memikirkan apakah masih ada cara untuk menyelamatkan penjualan CD/Kaset di negeri ini yang kian hari kian terpuruk. Entah itu disebabkan persaingan harga dengan pembajak atau karena teknologi yang semakin memudahkan orang untuk mendapatkan lagu.
Yang saya temukan ini adalah tentang Augmented Reality (AR), yang menurut bahasa saya adalah sebuah ‘aplikasi’ yang dapat membuat sebuah objek virtual menggunakan suatu alat. AR ini diluar sana diterapkan pada bidang pendidikan untuk membantu anak sekolah belajar sesuatu yang ‘serius’ tapi dalam suasana yang fun. Selain itu, ada juga yang penerapannya untuk senang-senang saja, seperti yang dilakukan iPhone di Paris.Saya bayangkan jika diaplikasikan ke CD/Kaset adalah untuk membawa suasana ‘meet&greet’ dengan artis pujaannya secara eksklusif. Karena AR sifatnya 3D, kita bisa mengagumi artis pujaan kita dari ujung rambut sampai ujung kaki yang seakan-akan ada didepan kita. Atau bisa saja diprogram si artis tadi bernyanyi langsung didepan kita.

“Gue setuju ini bakalan menolong penjualan CD/Kaset,” seru mas Ramya P, pecinta musik yang aktif di dunia internet marketing ketika saya sodorkan ide ini padanya. Dengan adanya AR sebagai bonus pembelian CD/Kaset akan memberikan nilai lebih dari kocek yang dikeluarkan. Walaupun strategi memberikan value added ke CD/Kaset kerap dilakukan, ide AR ini bakalan menjadi pengalaman tersendiri penikmat CD/Kaset.

Tetapi hal berbeda diutarakan mas Ario T, basis band yang juga aktif di perindustrian musik tanah air. Menurutnya penambahan AR dalam CD/Kaset tidak akan membantu penjualannya. Karena yang diharapkan penikmat musik adalah lagunya, buat apa beli bungkusnya yang penting isinya, begitu kira-kira. Lebih dalam lagi dia menjabarkan jaman dahulu kebiasaan membeli CD/Kaset lebih didorong karena keterbatasan memperoleh akses untuk mengkonsumsi lagu. “Dulu hanya ada radio dan TV dan kalau suka lagunya baru beli ke toko CD/Kaset. Kalo sekarang mau denger lagu dan langsung beli bisa lewat handphone ataupun cari di Internet,” imbuhnya.

Kalau dilihat dari cost pengaplikasian AR ini juga tidaklah murah. Karena selain harus mempersiapkan materi rendering 3D untuk disajikan, produsen juga harus menyiapkan aplikasi agar AR ini dapat dengan mulus tampil kehadapan pemirsa. Belum lagi education cost untuk mengenalkan ‘experience’ baru ini. Dan sayangnya, AR ini masih rentan terhadap prilaku bajak membajak, karena AR tidak melindungi lagu yang merupakan inti jualan di industri musik itu sendiri. Setidaknya di Indonesia sudah ada yang mau memulai lebih dulu. Cek deh www.qualitealife.com/qualiteaexperience/augmented dari perusahaan teh botol Sosro. Menurut gue, ini dilakukan untuk mengangkat penjualan produknya.

Cek video-video lainnya:

www.youtube.com/watch?v=U0Bf8WLDoCM

www.youtube.com/watch?v=uyE_68G0JOA

www.youtube.com/watch?v=ZKw_Mp5YkaE

komentar lama klik

2 Comments

  1. mas, saya penggemar kaset/cd…rilisan kaset luar negeri yg terakhir saya beli adalah Oasis’ dig out your soul…saya juga masih sering membeli kaset – kaset lama..masih ada kok..diantaranya : toko Popeye di jogja..bulettin di smg..beberapa yg saya temukan..

Comments are closed.