To be honest, saya paling tidak suka melihat timeline tweet saya yang dibanjiri dengan informasi yang sama namun disampaikannya terputus-putus -karena keterbatasan 140 karakter. Contohnya livetwit yang marak happening saat konser berlangsung. Why don’t they use blog to express their long opinion or their concert review after the show?
Namun studi berikut memberikan gambaran lain soal livetweet. Sebuah gelaran konser orkestra klasik di Cincinnati memberikan bangku harga khusus atau gratis kepada 10 atau 15 tweeter untuk memberikan reaksinya saat menonton konser tersebut lewat twitter. Padahal umumnya tiap konser simfoni klasik pengunjung diharuskan mematikan ponselnya agar dapat fokus terhadap musik yang sedang dibawakan. Namun tidak bagi para tweeter ini, mereka akan dipersilahkan duduk ditempat yang sudah disediakan dan dibolehkan untuk menyalakan ponsel ataupun tablet mereka dengan catatan dalam kondisi silent dan tidak menimbulkan riuh saat mengetik lewat keyboard qwerty nya -untungnya hampir semuanya layar sentuh. Dan tiap tweet yang mereka kirim harus dalam kriteria “Parental Guidance” sehingga aman dikonsumsi.
Jason Snowden, 38, salah seorang tweeter yang ikutan mengatakan, “Ini adalah pengalaman yang luar biasa. Saya adalah tipikal ‘Gen-X tech geek‘ yang bisa membagi perhatian dengan berbagai hal dalam satu waktu.” Dia sangat senang dapat berbagi pengalaman menonton konser dengan orang-orang yang tidak dapat hadir dan dia yakin orang-orang yang membacanya tidak keberatan dan justru akan merasakan kesenangan yang sama dengan yang dia alami.
Bagi Marilyn Bercaw, 31, pramugari yang menonton konser pada kamis malam di Music Hall bilang jika tweetnya diikuti oleh teman-temannya yang belum tau atau mengerti tentang pertunjukan konser. Sehingga teman-temannya ini dapat juga tertarik untuk menonton konser.
Berbeda bagi Friedman, 60, penonton konser murni yang tidak nge-tweet ini merasa terganggu. Para penonton ‘khusus’ tersebut mempunya kecepatan jari melebihi kecepatan pemain violin menyelesaikan part nya. Mereka seakan tidak peduli dengan mahakarya seni yang berlangsung dihadapannya. Ketika lagu selesai tidak ada yang bertepuk tangan atau melakukan standing ovation. Mereka lebih menghargai apa yang ada di perangkat yang mereka pegang ketimbang pertunjukan itu sendiri.
Bagi penyelenggara pertunjukan, adanya kelonggaran untuk livetweet ini rupanya mendongkrak minat orang menonton konser dan juga dapat melakukan evaluasi terhadap konser yang sudah berlangsung. Jessica Di Santo, Director of Communication Indianapolis Symphony berencana melanjutkan konsep livetweet ini setelah melihat animo yang bagus. Baginya dengan mencoba kombinasi baru antara kemajuan teknologi dapat meningkatkan kualitas pertunjukan kedepannya.
Livetweet ini memang disengaja, dengan ‘pancingan’ dari penyelenggara yang memberikan ‘tidbits’ seperti alat apa yang sedang dimainkan dan dengan menggunakan hastag tertentu, rupanya ini dapat memberikan reaksi langsung bagi para penonton khusus tadi untuk dapat mengetahui tentang konser saat pertunjukan berlangsung.
Saya memang tidak suka Livetweet tapi mungkin akan berubah pikiran jika konser tersebut memang konsepnya berbeda dan disampaikan dengan tidak menggurui dan sok tau.
sumber: cincinnati.com