Perdebatan akan piracy, megaupload, SOPA/PIPA, ACTA dan sebagainya terus saja bergaung seakan industri musik menyalahkan teknologi. Padahal sejarah sudah membuktikan, teknologi hadir untuk menyempurnakan.
Tersebutlah tahun 1930-an ketika pada saat itu kebutuhan orkestrasi musik pada sebuah teater film mulai tergusur akibat adanya inovasi penyatuan antara suara dan gambar. Tahun-tahun sebelumnya, film-film di bioskop kebanyakan adalah film bisu dan dramatisasi dihasilkan oleh suara yang dimainkan oleh orkestra secara live. Banyak yang bilang tonggak bersejarah film yang sudah mulai ‘bersuara’ adalah film The Jazz Singer tahun 1927. Film yang disutradarai oleh Alan Crosland dan dibintangi oleh Al Jolson, May McAvoy dan Warner Oland menampilkan musik yang digarap oleh Louis Silvers. Al Jolson yang selain aktor, ia juga seorang komedian dan penyanyi bergenre Jazz dan Pop. Di film ini namanya semakin populer dengan lagu “Toot, Toot, Tootsie (Goo’ Bye)”.
Kesuksesan film tersebut membuat film-film lainnya mengikuti jejaknya dengan menyatukan gambar dan audio serta meninggalkan konsep live music pada setiap pertunjukan film. Ini membuat American Federation of Musicians berang dan membuat sebuah organisasi bernama Music Defence League yang mempromosikan pentingnya soul live music akan menambah kepuasan menonton film. Dan reproduksi suara dari rekaman tak lebih hanyalah inovasi yang akan membawa degradasi dalam sebuah karya seni. Yang terlebih penting adalah dengan adanya inovasi tersebut akan banyak orang kehilangan pekerjaan karena perannya tergantikan oleh audio rekam. Gambar diatas adalah contoh poster yang dibuat oleh AFM dan diterbitkan pada harian Syracuse Herald.
84 tahun setelah itu, kita lihat industri musik tidak mati malah dengan adanya soundtrack pada film akan menaikkan gengsi dari musik itu sendiri. Jumlah lapangan pekerjaan terhadap pekerja seni orkestrasi juga tidak surut. Kenyataan indah ini ditempuh dengan jalan panjang. Sebutlah telah lahir banyak aturan yang ketat mengawal inovasi teknologi terutama pada perlindungan hak intelektual. Undang-undang mengenai synchronisasi suara dan film justru menjadi sebuah pundi-pundi pemasukan baru bagi industri musik untuk terus hidup.
Semoga saja di era kita sekarang ini dimana internet dituduh sebagai biang kerok turunnya pendapatan dan kualitas dari musik dapat membuktikan dirinya bahwa teknologi sekali lagi hadir untuk menyempurnakan. Fans musik ingin terus menikmati musik dengan bebasnya dan pemusik juga ingin dihargai. Industri musik dapat mendengarkan kebutuhan fans musik akan musik yang easy and affordable. Dan akhirnya dapat memberikan hasil yang best for the both world.
Khususnya di Indonesia, kemajuan teknology tidak diimbangi kemajuan industri dan regulasinya….hanya/jika saja industri musik gak bisa seobjective penerapan teknologi, mungkin semua bisa happy. Btw, please define what you call music industry? So we all can be think on the same track. Salam musik indonesia