Tulisan Ilmiah Tentang Industri Musik di Indonesia (Bagian 3 – habis)

My name is Widi Asmoro.
partnership music label and service provider

Sekarang sampai kepada kesimpulan terhadap pembahasan fenomena disintermediasi di industri musik di Indonesia yang telah dibahas 2 hari belakangan. Bagaimana? Apakah bahasan ini bermanfaat bagi kamu? Mudahan-mudahan yah…

Simpulan

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa fenomena disintermediasi dapat menyebabkan dampak positif maupun negatif pada industri musik di Indonesia. Disintermediasi menimbulkan dampak negatif, terutama pada penurunan, bahkan hilangnya peran perantara atau elemen distributor dalam industri rekaman, seperti tutupnya toko-toko musik yang menjual album secara fisik, serta peran perusahaan rekaman (label) yang semakin kecil.

Namun di sisi lain, dampak positif dari disintermediasi juga dirasakan oleh musisi-musisi indie, juga artis berskala kecil maupun besar, yang dapat memanfaatkan media jejaring sosial untuk membangun hubungan serta melakukan distribusi langsung kepada konsumen. Dengan biaya yang relatif rendah, serta kebebasan untuk memperoleh keuntungan sepenuhnya, tanpa harus ada pemotongan biaya promosi dan distribusi ke pihak perusahaan rekaman atau ritel.

Bagi para konsumen, disintermediasi memberi dampak positif, salah satunya dengan meningkatnya keterlibatan (engagement) antara musisi dan penggemar, yang dapat terjalin secara interaktif lewat situs jejaring sosial dan media sosial online. Selain itu, distribusi musik digital, terutama melalui internet, baik secara legal (dari situs artis/musisi/label yang bersangkutan maupun distributor musik digital) maupun ilegal (dari situs file sharing dan P2P) memberikan keuntungan bagi konsumen, baik dari segi kemudahan untuk memperoleh konten, maupun alternatif pilihan untuk mengkonsumsi karya musik yang sesuai dengan selera atau kebutuhan mereka, sehingga membuat konsumen menjadi lebih selektif.

Namun di sisi lain, ada penurunan kualitas musik dalam beberapa kasus. Karena jalan untuk masuk ke industri musik saat ini sudah begitu mudah, dengan adanya disintermediasi ini, musisi tidak harus melewati seleksi yang ketat lewat label, siapa saja bisa menaruh lagu-lagunya di internet, sehingga mempopulerkan aksi-aksi artis “dadakan” melalui media sosial seperti YouTube.

Berdasarkan analisa dan pembahasan sebelumnya, ada beberapa solusi yang dapat ditempuh oleh para pemain dalam industri musik (musisi dan perusahaan rekaman), khususnya di Indonesia, untuk tetap bisa bertahan dari dampak perkembangan teknologi digital.

Diantaranya adalah dengan menjalankan alternatif pemasukan lain serta menempuh model distribusi yang berbeda, seperti:

Distribusi musik digital, berupa layanan RBT (nada dering tunggu) yang mendatangkan pemasukan yang cukup besar, ring tone (nada dering) serta layanan unduhan lagu (full track download), meski yang terakhir saat ini masih menghadapi kendala yang cukup besar. Terutama untuk masalah terbatasnya bandwidth yang membuat pengguna terhambat dalam mengunduhnya, masalah pembajakan musik secara digital melalui situs file sharing dan P2P serta metode pembayaran yang masih dirasakan kurang efektif.

Distribusi album dengan menggunakan jalur ritel non musik, seperti bekerjasama dengan jaringan ritel hypermart, SPBU maupun restoran cepat saji untuk mendistribusikan album rekaman secara fisik, sehingga memungkinkan mereka untuk memperluas pasar sekaligus memperoleh jalur distribusi yang luas.

Swadistribusi atau self-distribution. Musisi dan perusahaan rekaman dapat memanfaatkan media internet untuk mempromosikan, memasarkan serta mendistribusikan lagu atau album mereka dengan cepat dan murah. Misalnya, dengan menggratiskan beberapa lagu sebagai gimmick atau pancingan agar konsumen mau membeli album secara penuh. Bahkan ada juga yang mendistribusikan album dengan cuma-cuma, karena album atau lagu hanya difungsikan sebagai alat promosi untuk mendatangkan pemasukan dari sumber lain, seperti tawaran pertunjukan serta penjualan cenderamata (merchandise).

Implikasi Akademis dan Praktis

Dengan perkembangan yang terjadi serta melihat hasil yang ada, seperti penerapan model distribusi alternatif sebagai solusi untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital, maka untuk kajian selanjutnya menarik jika dapat dilakukan penelitian mengenai efektifitas model distribusi alternatif ini dengan pendekatan media baru di Indonesia. Riset di bidang teknologi digital, terutama yang menyangkut distribusi konten digital juga sangat dibutuhkan untuk mencari dan mengembangkan bentuk distribusi seperti apa yang dapat diterapkan di masa depan, yang dapat memfasilitasi kepentingan industri musik dan elemen-elemen di dalamnya, baik dari sisi musisi sebagai produser, label sebagai distributor serta audiens sebagai konsumen.

Secara praktis, solusi yang diperoleh dari kesimpulan di atas dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para pelaku yang berkecimpung dalam bisnis industri rekaman. Misalnya, dengan menjual musik dengan format berlangganan, atau mengeksplorasi bentuk fisik lain seperti distribusi album vinyl (piringan hitam) yang ditujukan untuk konsumen yang lebih segmented.

Lebih lanjut lagi, kajian di atas juga masih mempertanyakan masalah mengenai perlindungan karya cipta bagi para musisi. Hingga saat ini, perkembangan media digital masih menyisakan masalah mengenai regulasi untuk melindungi karya cipta musisi di internet, yang membutuhkan kerjasama dengan pemerintah sebagai badan regulator untuk menyelesaikannya.

Kesimpulan dari gue adalah kemajuan industri musik di Indonesia bergantung pada semua. Ya pemusik, ya label rekaman, ya media penyiaran, ya pemerintah dan terpenting adalah ini juga tanggung jawab bagi penikmat musik demi kelangsungan musik beserta industrinya. Semua pihak harus bergandeng tangan.

Gue setuju, musik nggak akan mati sampai kapanpun, tetapi bukan berarti kita tega melihat musisi yang berpotensi tidak bisa terus berkarya.

Biarkan mereka terus bermusik!

 

sumber foto: megindo.net