Blogpost tentang #CintaMusik dari @sibair peserta diskusi Akademi Berbagi Surabayayang post aselinya bisa dibaca di http://sibair.net/bicara-musik-bicara-cinta-dan-selera.html
Bicara musik seperti bicara selera bagaimana telinga kita menerima nada-nada yang kita rasa cocok dengan diri dan kepribadian personal. Singkatnya “cocok di kuping atau tidak“. Selera itu tidak bisa disamakan seperti saya merasa band “A” paling keren untuk versi saya. Lalu saya mengatakan bahwa tidak ada lagi musisi di Indonesia yang lebih baik dari lagu-lagu band “A”. Bisa saja kita merasa bahwa band “A” paling baik. Tapi, bisa juga menurut orang lain band “B” Lebih baik dari band “A”.
Semua kembali ke selera. Bagaimana kita menerima, bagaimana kita menyikapi kehadiran band-band dan aliran musik yang masuk ke Indonesia secara bergantian dengan trend pada masanya masing-masing. Sabtu lalu bertempat di Brew & Co Surabaya Town Square Sabtu 21/4/2012. Acara Akademi Berbagi Surabaya membuat kelas diskusi tengan Cinta Musik Indonesia.
Diskusi yang bertema mengenai Cinta Musik Indonesia ini di mentori oleh Widi Asmoro seorang service manager Nokia Entertainment. Berbicara tentang kondisi musik jaman sekarang. Serta antusiasme dan kegelisahaan pada shifting era yang berawal dari mendengarkan musik menggunakan kaset tape, CD lalu menuju musik-musik yang dipasarkan melalui dunia digital.
Perubahaan di Shifting era ini seakan membuat industri musik bergaung menyalahkan teknologi dan mengkambinghitamkan pergeseran perkembangan dunia musik. Dalam beberapa postingan blognya, Widi selalu menekankan bahwa teknologi hadir untuk menyempurnakan.
APAKAH MUSISI MASIH BISA HIDUP DI ERA TRANSISI & KEMAJUAN TEKNOLOGI DIGITAL ?
Perbincangan mengenai perkembangan musik berformat mp3 yang membuat penjualan kepingan CD berkurang tak akan ada habisnya. Atau belum ada habisnya. Mungkin besok, lusa, bulan depan, tahun depan, sepuluh tahun lagi atau ratusan tahun lagi mungkin baru selesai. Mengutip semena-mena dari PamanTyo “Inilah perubahan zaman. Lagu berformat MP3 tinggal ambil atau salin sehingga urusannya semata pasal dengaran – tak beda dari mendengarkan radio. Info pendukung sudah ada di internet, dan isinya lebih komplet, pun lebih interaktif daripada kemasan CD”.
Tentu saja jika ingin dibandingkan pembelian CD kepingan original dengan kumpulan mp3 sangat berbeda jauh. Misal harga per lagu Rp 5.000 jika dikompilasi menjadi paket sepuluh atau dua belas lagu jatunya Rp 50.000 – Rp 60.000. Lebih mahal dari CD Indonesia yang rata-rata Rp 35.000. Jauh lebih mahal dari CD kompilasi MP3 Rp 5.000 berisi 100 lagu. Amat sangat jauh lebih mahal dibanding mengopi dari CD dan hard disk teman sekalian numpang berinternet gratis. Saya tidak akan membahas terlalu jauh mengenai ini.
Dalam presentasinya, sore itu Widi Asmoro mulai menjelaskan sejarah perkembangan industri musik dari zaman ke zaman. Mulai dari penemuan ponograh, juke box, long play, BASF polyster 8 inci hingga kepingan CD 5 inci pada tahun 1892. Setelah itu penjelasan mengenai industri musik di era perkemabangan teknologi digital.
Serunya diskusi sore itu membuat gatal Julian Noor atau yang lebih di kenal di twitter dengan @djuleee yang notabene adalah Music Director Radio terkenal. Selama 20 tahun ia bergelut dalam dunia musik. Dalam opini-opininya yang cukup panjang, Julian noor membuat kaya akan materi sharing yang disampaikan. Seolah terdapat 2 presentasi yang sama-sama asik untuk disimak.