Tulisan ini adalah bagian ketiga dari empat bagian essay yang berjudul “Mencari Wajah Baru Industri Musik Indonesia”. Gue sediakan tautan untuk lompat ke empat bagian tersebut yaitu: Kilas Balik, Era Internet, Upaya Untuk Tetap ‘Survive’, dan Pencarian Model Baru Industri Musik Indonesia. Selamat membaca!
Era Internet
Di tahun 2000, kehadiran teknologi digital dan internet telah membawa dampak yang sangat signifikan bagi wajah industri yang sudah terlena dengan penghasilan dari jualan produk fisik. Format baru seperti ringtone, ringback tone atau digital full track download diperkenalkan ke masyarakat namun hanya ringback tone yang mampu menggantikan penghasilan dari jualan produk fisik. Radjasa Barkah atau akrab disapa Bimbom, Managing Director Universal Music Indonesia, mengungkapkan pendapatan dari ringback tone bisa mencapai Rp. 800 milliar pertahun(2).
Namun mimpi indah itu tidak berlangsung lama, kemunculan RBT di tahun 2004 harus mencapai klimaksnya di tahun 2010 setelah keluarnya keputusan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia dengan Surat Edaran BRTI No.177/BRTI/X/2011 tertanggal 18 Oktober 2011 untuk mereset server-server RBT untuk kembali di titik 0. Akibatnya adalah dalam beberapa bulan saja pendapatan dari ringback tone merosot tajam hingga 95%. Efek negatif dari pembajakan semakin memperparah keadaan. Sejak era fisik pembajakan sudah menjadi momok dan di era digital pembajakan seakan menjadi kanker yang semakin mengganas.
Kondisi ini memaksa industri musik Indonesia berinovasi setidaknya untuk terus bertahan. Transformasi ditubuh perusahaan rekaman di Indonesia mulai digelontorkan. Label tak lagi hanya menguasai hak atas rekaman tetapi mulai menjadi rumah bagi artis musisi dengan membuka divisi Artist Management. Sebagai implikasinya, Artist Management menghasilkan lahan usaha baru dimana label dapat langsung berhubungan dengan brand-brand dari perusahaan FMCG, telekomunikasi, perbankan atau apapun untuk dapat menggunakan musik dan juga imej artis sebagai bagian endorser guna kepentingan promosi brand-brand tersebut. Label kemudian memperluas usahanya dengan hadirnya divisi Event Organiser yang mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan dari kliennya tersebut. Label tak lagi hanya berurusan B2C (business to consumen) tetapi menjadi B2B (business to business).
Label rekaman Indonesia pun merapatkan barisan untuk mencari solusi. Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) yang berdiri sejak 1978 dan membawahi sekurangnya 69 perusahaan rekaman di seluruh Indonesia telah berupaya untuk mendesak pemerintah menindak aksi pembajakan. Lewat upaya lobi ke Pemerintah, menghasilkan kebijakan dari Kementrian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir akses ke situs-situs yang menyediakan layanan unduh yang tidak resmi seperti: gudanglagu.com, gudanglagu.net, mp3gratis.net, mp3lagu.com, warungmp3.com, pandumusica.info, musik-corner.com, mp3bos.com, mp34shared.com, musik-flazher.com, index-of-mp3.com, misshacker.com, trendmusik.com, abmp3.com, katalogmp3.info, mp3bear.com, mp3downloadlagu.com, freedownloadmp3.com, dewamp3.com, plasamusic.com.
Harapan besar untuk menekan pembajakan bertumpu pada adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tekanan dari pihak luar juga dirasakan bagi industri musik Indonesia. Ancaman embargo ekonomi dari Amerika Serikat mencuat dari petisi yang dikeluarkan oleh International Intellectual Property Alliance® (IIPA®). Michael Schlesinger, wakil dari IIPA dalam press releasenya mengungkapkan, “Indonesia telah gagal untuk memenuhi kriteria kelayakan yang sesuai dalam GSP yaitu perlindungan dan penanganan masalah hak kekayaan intelektual.”
Selanjutnya: Upaya Untuk Tetap ‘Survive’, dan Pencarian Model Baru Industri Musik Indonesia.
3 Comments
Comments are closed.