Mencari Wajah Baru Industri Musik Indonesia

My name is Widi Asmoro.

Essay Bisnis Industri Musik Indonesia

Essay ini aslinya ditulis untuk keperluan pengajuan beasiswa di SAE Institute Jakarta. Meskipun kenyataannya gue tidak mendapatkan beasiswa tersebut namun gue merasa sayang jika tulisan ini hanya tersimpan atau musnah. Gue putuskan untuk berbagi lewat blog Music Enthusiast ini.

Tulisan ini dipecah menjadi empat bagian. Gue sediakan tautan untuk lompat ke empat bagian tersebut yaitu: Kilas BalikEra InternetUpaya Untuk Tetap ‘Survive’, dan Pencarian Model Baru Industri Musik Indonesia. Selamat membaca!

Thanks buat Yudhi Arfani (editor Provoke! Magazine, Gitaris Everybody Loves Irene, music producer) buat bantuan editorial, masukan dan final touch nya. 

Mencari Wajah Baru Industri Musik Indonesia 

oleh Widhi Asmoro

Industri musik Indonesia sedang mencari bentuk barunya pasca menurunnya penjualan produk fisik format CD ataupun kaset sejak memasuki tahun millennium. Problematika pembajakan pun tak kunjung menemukan solusinya. Hal ini diperparah dengan kemudahan mendownload lagu secara illegal lewat internet. Kegelisahan menghampiri tak hanya perusahaan rekaman, artis-artis bertanya-tanya apakah jaminan penghidupan tetap ada dari bermusik, orang-orang dibalik layar seperti artist manager, roadies, crew pun bertanya hal yang sama.

Kilas Balik

Sedikit kilas balik menggeliatnya industri musik di Indonesia dimulai sejak 1920 saat produksi piringan hitam dirintis oleh usahawan Thio Tek Hong. Hadirnya teknologi baru yang mampu memberikan durasi rekaman lebih panjang dihadirkan oleh Irama Records ditahun 1957(1). Kemunculan Irama Records diikuti oleh hadirnya perusahaan-perusahaan rekaman lainnya seperti Dimita, Remaco, Hins Collection, Akurama hingga perusahaan rekaman milik Negara, Lokananta hadir.

Tentu ini membuat lahirnya musisi-musisi Indonesia dengan genre yang beragam seperti The Rollies yang bermain di hard rock, Rahmat Kartolo dengan pop melankolis, hingga Zaenal Combo yang memadukan musik pop dengan unsur kedaerahan Minang. Sayangnya gegap gempita ini tidak disertai dengan kehadiran Indonesia untuk menandatangani ‘The Berne Convention’ pada tahun 1971 yang merupakan konvensi untuk bersama-sama melindungi hak kekayaan intelektual pada masyarakat global. Absen ini akibat adanya rilisan album dari internasional di Indonesia tanpa melalui ijin yang jelas dari pemilik haknya.

Walaupun demikian pasar musik Indonesia makin terus berkembang dan semakin menuntut hadirnya musik-musik berkualitas, industri melihat pentingnya hak cipta musisi diperjuangkan. Untuk menghindari kasus pelanggaran hak cipta yang lebih besar maka dibukalah perwakilan perusahaan-perusahaan rekaman internasional seperti Sony Music, Warner Music, Universal, EMI dan BMG di Indonesia sekitar tahun ‘90an. Periode tersebut adalah periode termanis industri musik Indonesia dimana penjualan produk fisik dari kaset dan CD dapat menghidupi artis-artis dan para pendukungnya.

Catatan kaki                :

(1)  Majalah Prisma Edisi 5, Mei 1987, Suzan Piper & Sawung Jabo

Selanjutnya: Era InternetUpaya Untuk Tetap ‘Survive’, dan Pencarian Model Baru Industri Musik Indonesia.