Distribusi musik memiliki peran penting dalam sebuah industri musik apalagi mengingat tantangan yang dihadapi kita saat ini. Bagaimana peranan ‘middle-man’ ini dalam menghubungkan para musisi pembuat karya kepada masyarakat penikmat yang menjadi konsumennya semakin dirasa penting. Meskipun internet seperti memudahkan semua itu, terkadang internet menjadi pisau bermata dua yang kadang merugikan karena sensitif pembajakan digital sekaligus menguntungkan jika pemanfaatannya tepat.
Jika dilihat di akhir pekan ini ada dua acara di dua kota yaitu Jakarta dan Bandung yang menampilkan segelintir dari masa depan distribusi musik Indonesia. Acara pertama di Jakarta digelar di Blok M digagas oleh Forum Musik Indie Indonesia (FORMI) dan menampilkan pembicara dari Mistral Musics. Acara yang di Bandung bertajuk A Music Network #3: Distribusi Digital dan Netlabel dan menampilkan pembicara dari penggiat NetLabel Indonesia dan juga Musikator.
Nama-nama yang disebutkan diatas adalah beberapa organisasi atau perusahaan yang memberikan jasa kepada para musisi untuk mendistribusikan karyanya secara luas. Kehadiran mereka seakan mencoba mendobrak pakem dan membuka mata para musisi untuk tidak patah arang jika karyanya ditolak oleh label rekaman. Musisi tetap dapat berkarya dan menyebarkannya secara luas dengan dibantu dengan apa yang biasa disebut sebagai: aggregator.
Adanya layanan musik digital berskala internasional yang resmi beroperasi di Indonesia seperti: Nokia Music, iTunes, YouTube dan Deezer memberikan semangat baru setelah lara RBT Blackout. Aggregator ini melihat celahnya untuk mengambil peranan distribusi yang selama ini dikontrol oleh label rekaman apalagi untuk distribusi album format fisik CD atau kaset. Apalagi dengan jaringan internasional, bukan tidak mungkin akan semakin banyak musisi Indonesia yang tampil di luar negeri selain Agnes Monica tetapi juga kesempatan musisi seperti Endah & Rhessa, ShaggyDog, Bottlesmoker, White Shoes And The Couples Company dan sebagainya.
Digital membuka berbagai peluang memang. Yang tertinggal harus segera mengejar karena kereta ini tidak berhenti dalam waktu dekat. Seperti halnya beberapa waktu lalu gue bertemu dengan mereka yang menamakan dirinya sebagai Komunitas Jambu. Sebuah komunitas yang mewadahi para produser rekaman yang kebanyakan katalognya adalah koleksi sejarah dari perindustrian musik Indonesia. Sebut saja label seperti Akurama, JK Records, atau Gemilang Sakti. Mereka menyadari keterlambatannya mengadopsi teknologi dan ingin mengejar ketertinggalan mereka.
Gue melihat Indonesia memasuki cakrawala baru dimana era distribusi musik tak lagi hanya mengandalkan label rekaman. Kenyataannya sekarang ini, banyak label rekaman pun sudah tidak lagi memproduksi album sendiri dalam jumlah sebanyak tahun lalu. Hadirnya aggregator bisa jadi cambuk semangat untuk musisi untuk terus berproduksi tanpa menunggu label rekaman. Sukses tidaknya gue juga tidak mampu memprediksi. Tapi mari kita nikmati bersama euforia ini, industri musik Indonesia masih menjanjikan!
pernah ada yg bilang, klo industri rekaman kita mati suri,, tp industri musiknya nggak. emang bener.
thanks for comment 🙂