Barcamp Musik Kewirausahaan dan Teknologi edisi Perdana

My name is Widi Asmoro.

barcamp musik

Berawal dari forum komunitas di G+ yang bertajuk “Musik, Kewirausahaan & Teknologi” (Music Entrepreneurship & Technology – MET), hari Sabtu 20 April mereka mengadakan kumpul-kumpul untuk melanjutkan diskusi yang biasanya online menjadi offline.

Dibuat dalam format Barcamp yaitu membiarkan seluruh peserta yang hadir untuk berbicara dan presentasi menjadikan atsmosfer keakraban tersendiri buat komunitas yang belum ada satu bulan ini. Apalagi suasana halaman kantor ThinkWeb di bilangan Mendawai – Blok M cukup relaxing untuk hari Sabtu yang mendung.

Komunitas G+ MET ini digagas oleh Robin Malau yang mencoba merangkul kawan-kawannya yang punya minat yang sama terhadap musik dan punya ketertarikan untuk ‘mengawinkan’ musik dan teknologi. Alhasil, dalam waktu singkat MET telah memiliki 830 members. Topik yang terlontarkan dalam grup ini berkisar antara keadaan industri musik saat ini, potensi apa yang bisa dikembangkan antara musik dan teknologi dan banyak lainnya. Forum yang sangat bergizi dan diimbangi oleh respon-respon membangun antar anggotanya. Ketika diskusi yang biasanya dilakukan secara online dibawa offline dalam format Barcamp walhasil adalah animo yang meletup-letup.

Barcamp kemaren dipandu oleh Ario Tamat yang juga tuan rumah dan cheerleader di startup musik, Ohdio. Dibuka dengan perkenalan dari yang hadir lalu colongan produk baru yang dibuat oleh Robin yaitu Musikator (2.0). Robin menjelaskan bahwa Musikator awalnya adalah blog yang meliput tentang musik yang dibuat bersama partner nya ketika di Bali, Rudolf Dethu yang tak lain adalah orang yang bertanggung jawab membawa Superman Is Dead ke Jakarta. Di versi berikutnya, Musikator menjelma menjadi sebuah gagasan untuk membantu musisi-musisi non jalur utama untuk bisa memasarkan karyanya secara digital.

Barcamp dilanjutkan oleh presentasi Hang Dimas tentang project yang sedang dikerjakannya untuk membantu sistem penghitungan royalti berdasarkan lisensi. Dimas yang punya pengalaman di industri musik Malaysia dan Singapura dengan latar belakang dari industri telco, cukup piawai memaparkan gagasannya. Melihat sistem pembagian royalti di Indonesia saat ini masih belum punya standar yang jelas, Dimas dengan perusahaannya yaitu Langit Data telah ditunjuk oleh Asirindo untuk membangun sistem yang mumpuni. Asirindo ini adalah perusahaan yang didalamnya terdapat elemen-elemen anggota asosiasi industri rekaman baik itu ASIRI atau Gaperindo dan lannya. Dimas menekankan pentingnya bagi musisi Indonesia untuk memahami hak nya dalam hal ini untuk pendapatan dari pemberian lisensi kepada perusahaan rekaman dan juga publishing.

Wiku Baskoro memberikan ide tentang berita musik bukan lagi milik media musik. Melainkan sudah bisa di konsumsi oleh media-media teknologi. Salah satunya adalah blog yang diasuhnya yaitu Trenologi yang selain mengulas tentang teknologi yang hadir di Indonesia, tetapi juga mengulas terobosan-terobosan dari industri musik ataupun musisi yang memanfaatkan teknologi untuk mengenalkan karyanya.

Yohan Totting memaparkan gagasan tentang pentingnya Digital Music Database. Sebaiknya musisi memahami pentingnya metadata apalagi dengan munculnya teknologi seperti music fingerprinting dan tren kebanyakan orang saat ini yang males menyusun playlist lagu dan menyerahkan kepada teknologi untuk memilihkan lagu apa yang cocok untuk didengarkannya pada saat-saat tertentu.

Adityo Pratomo yang kecewa dengan penghasilan tak seberapa dari bermusik secara independen, menemukan keasyikan tersendiri memadukan musik dengan teknologi visualisasi. Menurutnya musik sekarang bisa dibuat dalam berbagai bentuk dan aransemen. Maksudnya adalah musik bukan lagi sebuah komposisi yang pasti. Musisi bisa memberikan kebebasan fans nya untuk mengolah lagi lagu yang telah dirilisnya. Adit juga mengenalkan Labtek Indie sebagai inkubasi buat musisi yang ingin berkolaborasi memanfaatkan teknologi visual digital.

Terakhir adalah presentasi dari Noor Kamil yang mengaku hadir bukan dalam kapasitasnya sebagai ‘orang industri’. Biarpun begitu, Kamil menyodorkan ide bahwasanya bisnis musik bukanlah lagi soal bisnis rekaman saja. Tempatnya ia bekerja saat ini yaitu Universal Music Indonesia telah melakukan beberapa hal diluar menjual barang rekaman. Contoh barang diluar barang rekaman yang dimaksud adalah merchandise. Study case dari band-band seperti Radiohead juga dibahas lengkap dan mendapat respon yang berapi-api dari peserta barcamp.

Barcamp MET edisi perdana ini yang mulai sekitar pukul satu siang kemudian ditutup menjelang waktu Maghrib. Barcamp ini pun tidak bermaksud menyelesaikan segala permasalahan yang ada di industri musik kita. Maka itu gue pun sepakat menggunakan hashtag #unresolved ketika mengabarkan event ini via twitter. Unresolved dapat berarti sikap untuk merangkul (baca:embrace) segala hal yang baru yang muncul akibat kemajuan teknologi dan jaman. Yang pasti kita harus membuka mata dan sigap dengan jawabannya.

Silahkan bergabung di G+ MET ini dan lihat foto-foto dari Barcamp tersebut.

barcamp-musik-2