Pemasukan musik digital untuk Indonesia tahun ini merosot tajam hingga 83.8%. Begitulah yang terekam dari laporan IFPI 2013. Padahal secara global, pemasukan musik dari sektor digital sedang mengalami sentimen positif. Kira-kira apa yang menyebabkan Indonesia malah tertinggal?
Hal ini sudah pasti disebabkan akibat menghilangnya pemasukan musik dari ringback tone akibat RBT Black out. Kebijakan pemerintah pada akhir tahun 2011 untuk mereset server yang digunakan untuk layanan ringback tone ini berimplikasi tajam terhadap industri musik Indonesia. Indonesia saat itu masih tetap optimis, mengingat ringback tone tidak menyalahi aturan-aturan yang ada dan diyakini potensi pengguna aktif untuk menggunakan ringback tone kembali masih ada. Beberapa perusahaan rekaman tidak tinggal diam melihat beberapa bulan setelah keputusan pemerintah tersebut, pemasukan mereka dari Ringback tone tidak kunjung naik.
Di kwartal akhir 2012, beberapa perusahaan rekaman menggelar kompetisi bertajuk Pesta RBT. Melibatkan telco Indosat dan XL yang pada menit-menit akhir Telkomsel urung keikutsertaannya pada program ini. Telkomsel yang memiliki market share pengguna di Indonesia sebesar 43 persen atau setara dengan 109.9 juta pelanggan, kehilangannya artinya kampanye Pesta RBT harus berusaha lebih keras lagi. Pesta RBT diluncurkan dengan gegap gempita namun ditutup tanpa ada gaung yang terdengar. Usut punya usut, Pesta RBT tak berbuah seperti yang diharapkan.
Jatuh hingga 83.8% ini kurang diantisipasi oleh industri musik Indonesia. Trend ini seperti mengulangi keadaan saat pemasukan musik dari produk fisik seperti CD dan kaset tergerus karena hadirnya teknologi baru: internet. Jauh sebelumnya, industri musik yang dibangun dengan menjual sheet-music juga harus mengalah dengan kehadiran gramaphone. Teknologi baru menggantikan teknologi sebelumnya. Kenapa kita belum belajar? Sikap antisipasi terhadap kehadiran teknologi perlu ditumbuhkan sembari memaksimalkan teknologi yang dimiliki sekarang. Karena kita nggak akan pernah tau apalagi setelah ini. Beruntung bagi perusahaan rekaman yang mempunyai tim untuk riset dan pengembangan sehingga bisa menyerap banyak pemasukan dan menggunakannya saat paceklik seperti ini.
Kolaborasi antar sektor industri merupakan kunci untuk bertahan dan maju. Indonesia tidak kalah dalam hal kolaborasi. Bukti terpenting adalah bagaimana memanfaatkan gerai restoran Kentucky Fried Chicken untuk mendistribusikan CD. Lalu gerai-gerai ritel modern mulai menjajakan CD di rak nya ditengah kebutuhan pokok sehari-hari. Hal yang berimbang ketika gerai-gerai ritel modern ini juga melakukan ekspansi besar-besaran tahun belakangan ini.
Namun hal-hal tersebut masih berporos pada satu format: CD, yang lalu membuat gue jadi bertanya apakah masih banyak orang mendengarkan musik dari CD? Meskipun belum banyak, namun beberapa perusahaan rekaman di Indonesia sudah mulai bereksplorasi terhadap teknologi baru: digital.
Beberapa diantaranya membuat aplikasi memanfaatkan Nokia Music lewat Nokia Store untuk apps berbasis S40. Noah dan Musica Studios bekerja sama dengan Agate Studio juga membuat sebuah game “Kisah Sahabat” untuk menyasar media baru. Grup musik Project Pop dan salah satu VIP member dari Nokia Developer, Own Game, segera meluncurkan game Power Pop.
Memang ini semua masih belum final. Segalanya dilakukan untuk mendapatkan sumber pemasukan musik digital yang baru. Kolaborasi dan inovasi, dua hal itu yang harus dilakukan. Setidaknya jika industri musik Indonesia tidak ingin terpuruk terus disini.