Menjaring Fans Musik, Mendulang Revenue

My name is Widi Asmoro.

fans-musik

Fans musik telah menjadi stake-holder terpenting dari roda industri musik agar terus berputar. Sudah sejak lama para pelaku di industri musik memikirkan bagaimana cara untuk memuaskan keinginan fans musik yang semakin hari semakin demanding. Skill musisi pun diasah lagi demi sebuah kepuasan dan mencapai masterpiece dalam berkarya. Teknologi pun semakin memudahkan agar fans musik dapat segera menikmati karya musik yang tercipta.

Gue tertarik (dan merasa sangat setuju) dengan ungkapan yang bergulir di G+ MET dan Barcamp MET baru-baru ini. Ungkapan tersebut adalah “Musisi hanya perlu 1,000 loyal fans untuk bisa survive di industri musik”.

Dan memang benar sih, sejauh pengalaman gue berkecimpung di industri musik, ujung-ujungnya adalah bagaimana cara menarik fans musik ini untuk tetap loyal membeli produk musik dan juga menjadi ‘public relations’ untuk produk yang dihasilkan musisi. Maka waktu itu gue sempat membentuk yang namanya ‘Street Team’ untuk memudahkan penyebaran informasi lewat fans musik. Karena sifatnya sukarela serta mereka melakukan atas dasar membela musisi yang mereka sanjung, budget promosi untuk media tradisional bisa dikurangi untuk dialokasikan ke yang lebih efektif ini.

Bila Lady Gaga melihat potensi fans musik ini lalu mengembangkan jejaring sosialnya sendiri: Little Monster, di Indonesia hal memobilisasi fans musik ini direspon oleh start-up Kincir dan NegMus untuk memanfaatkannya.

Kincir adalah media sosial yang konon merupakan ide dari Giring Nidji untuk membuat wadah bagi musisi dan menjadi penyelamat di tengah ‘kebingungan’ digital saat ini. Konsepnya adalah tiap artis yang tergabung dalam Kincir akan dipilih oleh member-member social media ini untuk diikuti. Keuntungan member-member yang mengikuti page artis di Kincir adalah mendapatkan informasi yang pertama dari artis yang bersangkutan. Seems like win-win.

kincir

Tak banyak yang gue ketahui tentang NegMus selain dari video teasernya di YouTube dan penuturan rekan gue yang pasangannya sempat ikutan dalam perumusan media sosial ini. Websitenya pun masih belum menampilkan fitur-fitur layaknya sosial media, hanya pengumuman tentang ide besar NegMus yang mencari karakter musisi yang tepat untuk menjadi pemimpin di sebuah negeri musik.

Permasalahan utama dari mobilisasi fans lewat sosial media ini menurut gue adalah musisi baru tetap kesulitan untuk keluar dari obscurity. Yang keluar dengan fans terbanyak (dan mendulang bagi hasil terbesar dari sosial media tersebut) tetaplah musisi papan atas yang lebih melagenda dan terkenal. Sebutlah band Nidji akan lebih punya banyak fans dengan mudahnya ketimbang projek musikal seorang Widi Asmoro yang orang belum banyak kenal.

Masalah berikutnya adalah soal mengupdate halaman musisi di media sosial tersebut. Berapa committed kah musisi untuk meluangkan waktu dan mengupdate halamannya di Kincir atau NegMus ketika musisi juga punya website official, Twitter pribadi dan juga Facebook. Mungkin Twitter dan Facebook tidak membagikan keuntungan finansial seperti yang ditawarkan oleh Kincir ataupun NegMus. Secara userbase, potensi Twitter dan Facebook amatlah sayang jika tidak dimanfaatkan ketimbang membangun dari scratch sebuah media sosial baru. Dan sudah menjadi rahasia umum, update-update yang ada di akun official musisi terkadang dijalankan oleh admin yang bisa jadi bukan anggota band tersebut.

Hal lainnya yang perlu juga diperhatikan adalah soal likeness. Buat yang sering bolak-balik kontrak rekaman dengan record label, beberapa kontrak rekaman diantaranya memuat klausa tentang penggunaan nama artis yang menjadi terikat penggunaannya dengan perusahaan rekaman tersebut. Jika klausa ini tertuang, maka musisi tidak bisa seenak jidatnya ‘menjual’ namanya untuk keperluan tanpa seijin perusahaan rekaman. Tapi tenang saja, tidak terlalu banyak perusahaan rekaman yang setau gue sangat peduli akan hal ini 🙂

Gue bukan mau mementahkan ide dari startup-startup ini. Mereka melihat hal yang potensial sementara label rekaman ataupun manajemen artis tidak mampu melakukan dengan maksimal. Kolaborasi yang dapat terjalin pun bukan tidak mungkin menghasilkan bisnis model baru yang saling menguntungkan. Ekspos fans musik dari musisi yang terkenal kepada musisi yang baru meniti karir, bukan tidak mungkin dibuatkan algoritma pemogramannya agar saling terhubung. Masalah distribusi informasi untuk update tiap media hanya dapat dipecahkan jika terjalin komitmen. Dan hubungan dengan ijin terhadap perusahaan rekaman bukanlah hal sulit untuk dibicarakan.

Cobalah sejenak melihat kembali fans musik kita sebagai elemen terpenting dari terciptanya karya musik. Meskipun hanya sedikit fans musik yang kita punya, namun dari merekalah nantinya masa depan karir musik kita akan bergantung. Hargailah fans musik sebagaimana ia menghargai karya kamu.