Saat ini, banyak yang bertanya tentang masa depan untuk musik Indonesia. Tidak sedikit yang apatis untuk menggantungkan hidup dari musik dan tinggal di bumi Indonesia. Perihal soal lemahnya perlindungan hukum atau tentang bagaimana memasarkan konten musik menjadi momok akut. Tempo hari gue membaca tulisan dari mas Djoko tentang industri musik di Indonesia yang lagi sakit. Mas Djoko adalah wartawan bidang seni dan hiburan yang sudah cukup sepuh dalam urusan gemerlap industri entertainment di Indonesia. Pandangannya cukup valid untuk dikaji. Terutama lewat tulisan ini ia memaparkan bagaimana ditengah ketidakpastian yang dihadapi musik Indonesia sekarang ini tetapi masih banyak orang yang mau berinvestasi baik itu menjadi musisi atau membuat label musik.
Di satu sisi, Asosiasi Industri Rekaman Indonesia yang merupakan ujung tombak perjuangan industri musik, sedang giat-giatnya mendorong pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan aturan baku dan perlindungan hukum. Menurut kabar, petinggi dari IFPI beberapa waktu yang lalu datang ke Jakarta secara mendadak dan mendesak Presiden SBY untuk segera menandatangani nota perlindungan hak cipta. Kabar ini masih harus diverifikasi karena gue tidak menemukan sumber resmi. Jika ditarik mundur setahun lalu, sebetulnya pemerintah Indonesia sudah mendapatkan ancaman sanksi boikot dari Amerika karena lemahnya perlindungan Hak Cipta.
Meskipun di sisi lainnya, masih banyak orang yang dapat menggantungkan hidup dari bermusik. Terutama dari panggung ke panggung. Istilahnya selama orang Indonesia masih ada yang mau kawin atau sunatan, panggung dengan hiburan musik meskipun itu dangdut pasti akan tetap bergema.
Begitulah. Gue dapat sebuah titik cerah lain yang sekiranya dapat membawa harapan bagi pebisnis musik di Indonesia. Berikut ini siaran pers nya:
PRESS RELEASE UNTUK SEGERA DITERBITKAN
DISKUSI INTERAKTIF
Tema: MASA DEPAN LISENSI MUSIK INDONESIA
Penyelenggara: HIMPUNAN PENGUSAHA PRIBUMI INDONESIA
Bekerja sama dengan PUSAT PENGEMBANGAN HUKUM DAN BISNIS INDONESIA dan ASOSIASI INDUSTRI REKAMAN INDONESIAHari/Tanggal: Rabu/5 Juni 2013
Tempat: Pre-function Hall A, Jakarta Convention Center
Moderator: Prof. Tjut Nyak Deviana Daudsjah
Pembicara:
1. Dr. Dhaniswara K. Harjono, SH, MH, MBA
(Ketua DPP HIPPI Bidang Hukum dan Kelembagaan)
2. Jusak Irwan Sutiono
(Perwakilan dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia)
3. Yuslisar Ningsih, SH, MH
(Direktur Hak Cipta, DTLST, Rahasia Dagang, Desain Industri Direktorat Jendral Kementerian Hukum dan HAM RI)Jakarta – Indonesia saat ini menjadi surga pembajakan musik. Setiap musik Indonesia yang baru, hampir pasti dapat diunduh karya bajakannya. Maraknya pembajakan musik di Indonesia tidak terlepas dari banyaknya layanan berbagi file gratis di Internet serta kemudahan dari karya tersebut untuk diduplikasi.
Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak eksklusif yang melekat pada pemegang hak, sehingga memberikan keistimewaan bagi pemegangnya untuk memanfaatkan atau menggunakannya dalam memproduksi suatu bentuk jelmaannya. HKI menurut organisasi internasional, World Intellectual Property Organization (WIPO), terbagi dua bidang besar, yakni Hak Cipta dan Hak Perindustrian. Lebih lanjut lagi, hak perindustrian diklasifikasikan menjadi hak paten, merek, desain tata letak sirkuit terpadu, indikasi geografis dan rahasia dagang dan pada dasarnya pihak-pihak yang berkepentingan dalam perlindungan kekayaan intelektual bukan hanya praktisi hukum dan pemerintah saja.
Lisensi musik, sebagai salah satu produk hak cipta, merupakan suatu bentuk perjanjian yang konteksnya tunduk pada kebebasan berkontrak Pasal 1338 KUHPerdata, namun isinya juga dibatasi pada UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Lisensi musik merupakan suatu media pengalihan karya cipta, yang biasanya dilakukan oleh pemilik karya cipta kepada industri musik untuk dapat dialihwujudkan agar dapat didistribusikan kepada konsumen sasarannya. Pemberian lisensi ini seringkali direpresentasikan dengan perjanjian baku, dengan form yang dibuat oleh industri rekaman lalu diberikan kepada si pencipta untuk diisi.
Permasalahan yang seringkali terjadi adalah baik dalam hal perjanjian tersebut dibuat sebagai lisensi musik, maupun terhadap problematika yang muncul setelah perjanjian tersebut disepakati. Dunia memandang bahwa karya musik di Indonesia belum mampu dilindungi dengan baik oleh pemerintah. Dalam diskusi ini, pemerintah, diwakili oleh Ibu Yuslisar Ningsih, SH. MH akan membahas dari segi bagaimana usaha pemerintah melindungi para musisi, pengusaha dan masyarakat pada umumnya, baik melalui produk perundangan maupun program-program yang ada.
Ditilik dari prespektif lain, banyak pengusaha di Indonesia yang memiliki prespektif negatif terhadap konsepsi perlindungan kekayaan intelektual atas karya musik. Pengusaha memandang konsep perlindungan HKI hanya akan merugikan dirinya pribadi. Hal ini dihadapi oleh pengusaha cafe, pengusaha karaoke, pemilik tempat-tempat perbelanjaan yang memutar karya cipta setiap harinya tanpa memperhitungkan royalti. Pengusaha yang diwakilkan oleh Dr. Dhaniswara K. Harjono, S.H., M.H., M.B.A., selaku Ketua DPP HIPPI Bidang Hukum dan Kelembagaan menilai bahwasannya perlindungan hak cipta melalui lisensi musik hanya merupakan wancana pemerintah yang tidak mungkin diterapkan dalam masyarakat. Bukan hanya prosedur pendaftaran dan pembuktian kepemilikan yang tidak sederhana, namun juga konsep perlindungan pada Undang-Undang yang masih abstrak, sehingga akhirnya menyebabkan banyak penyalahgunaan dan kesalahan dalam penafsiran. Belum lagi, ketika mereka mengupayakan dari segi penyelesaian hukum. Tidak banyak dari para pengusaha, yang berujung pada kekecewaan akibat sistem pengadilan dan ketidaktahuan hakim akibat kurang menguasai wancana HKI di Indonesia.
Namun, di sisi lain, dalam prespektif pemilik hak cipta, perlindungan negara melalui pemberian royalti merupakan harapan besar bagi para pemilik hak cipta. Selama ini, mereka merasa haknya belum benar-benar dijamin perlindungannya oleh pemerintah. Melalui Bapak Jusak Irwan Sutiono, selaku Managing Director PT Warner Music Indonesia dan Public Relation Asosiasi Industri Rekaman Indonesia, akan dipaparkan tentang problematika lisensi musik pada Musisi Indonesia, beserta harapan penyelesaian pemerintah atas permasalahan tersebut.Asosiasi Industri Rekaman Indonesia pada acara ini, mempertunjukan sebuah alat yang bernama Karaoke Legal. Alat ini merupaka sistem lisensi karaoke komersial berbasis hak cipta, dengan metoda perhitungan pemakaian karya rekaman karaoke secara fair, realtime dan transparan. Alat ini diharapkan memberikan solusi atas kompleksitas distribusi karya rekaman karaoke, menyelesaikan permasalahan pembajakan dan duplikasi tanpa seizin pemilik karya.
Diskusi interaktif yang mengangkat tema “Masa Depan Lisensi Musik Indonesia” diselenggarakan atas kerjasama Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) dengan Pusat Pengembangan Hukum dan Bisnis Indonesia (PPHBI) dan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia diharapkan dapat membuka mata pemerintah, penegak hukum, akademisi, pengusaha dan masyarakat musisi tentang pentingnya lisensi musik, sehingga tercipta iklim kondusif bagi perkembangan perlindungan kekayaan intelektual dalam masyarakat Indonesia.**
Mental masyarakat kita memang seneng barang yang murah walau bajakan dan tidak baik kualitasnya. Saya setuju bahwa harus ada regulasi mengenai hak cipta sebagai payung hukum bagi aparat untuk bertindak.