Pembajakan musik atau music piracy lebih terasa heboh dibahas ketimbang pembajakan di perfilman. Bukan berarti industri film tidak terperosok akibat pembajakan. Hanya saja pertanyaan ini terlontar oleh teman gue saat perbincangan makan siang beberapa waktu lalu. Ia melontarkan pertanyaan yang terdengar sederhana yaitu kenapa industri musik lebih terlihat panik akibat kemunculan teknologi baru dan merasa lebih khawatir terhadap pembajakan daripada industri perfilman yang terlihat cukup tenang menghadapi itu semua.
Saat itu gue menjawab karena ukuran file film lebih besar untuk didownload ketimbang ukuran file lagu. Kemudahan lagu untuk didownload atau didapatkan secara ilegal menjadikan banyak orang melakukan pembajakan musik. Kecepatan internet di Indonesia yang tidak terlalu kencang juga membuat pilihan mendownload file lagu lebih terasa logis ketimbang menunggu berjam-jam mendownload film. Gue terlalu teknis menjawabnya dan gue juga kurang puas dengan jawaban gue sebenarnya. Makanya gue cari pendapat lain.
Industri Lisensi
Pertanyaan tadi gue coba lanjutkan kepada teman gue yang lain mas Bobby yang cukup dekat dengan industri perfilman dan juga sering terlihat dievent-event permusikan. Mas Bobby adalah wartawan untuk sebuah majalah yang mengupas perfilman. Menurutnya, industri film juga merasa momok pembajakan menghantui mereka namun para produsen film mensiasatinya dengan cukup elegan. Dari budget yang dikeluarkan untuk memproduksi film, mereka sudah memperhitungkan estimasi berapa bangku penonton yang bakal terisi ketika film tersebut tayang di bioskop. Setelah itu, film tersebut apakah akan menjadi VCD/DVD atau masuk ke layar televisi. Dan disinilah proses pemberian lisensi penyiaran menjadi penolong.
Pendapat mas Bobby cukup valid saat mengangkat isu lisensi penyiaran. Dia juga menegaskan kadang produsen film boncos juga dengan situasi yang tidak dapat dikendalikan seperti kemunculan film-film impor box office saat bersamaan. Atau ternyata cerita filmnya tidak mendapatkan sambutan bagus dari masyarakat.
Menikmati Film Lebih Enak Bareng-Bareng
Sebuah white-paper yang dirilis oleh Midem atas kerjasama dengan Berklee College of Music – Valencia campus membawa gue pada satu kesimpulan lain. Pola konsumsi musik dan film sangat berbeda. Menikmati tontonan film dapat dilakukan secara bersama-sama dengan lebih dari satu orang. Sedangkan menurut paper ini menikmati musik adalah konsumsi individual.
Pengalaman menyaksikan film secara bersamaan ini membawa ke satu tingkat prestise terhadap intelektual dan gengsi terhadap pilihan film dan juga komentar terhadap film tersebut. Tekanan untuk dapat ke tahap ini mendorong pola konsumsi film yang dilakukan bersamaan. Gampangnya adalah tradisi nonton bareng. Atau sewa video untuk dapat dibawa pulang dan nonton bersama diruang keluarga.
Gue jadi inget tradisi yang ada di keluarga gue jauh sebelum adanya siaran televisi swasta di Tanah Air yaitu kami senang memutar film saat sahur. Entah film India atau Indonesia, kami mengisinya dengan nonton video bersama-sama lewat pemutar video betamax.
Tradisi sewa film untuk dapat nonton bareng sampai saat ini rupanya masih terus ada. Meskipun bukan di keluarga gue, tradisi menyewa film masih ada. Rental yang bermetamorfosis dari Video Rental, VCD/DVD Rental hingga Netflix menjawab bahwa sewa film masih banyak peminatnya. iTunes pun menawarkan sewa video hingga kini YouTube juga menawarkan paket sewa terdaftar untuk beberapa film yang ada di platformnya.
Konsep semacam ini dicoba ditawarkan di musik dengan memberikan paket berlangganan atau paket sewa untuk menikmati musik. Cukup berhasil saat konsep ini masuk dengan produk ringbacktone (RBT) dimana penyuka musik dapat berlangganan atas secuil musik untuk didengarkan oleh orang lain. Untuk itu si penyuka musik harus membayar dalam periode tertentu dan otomatis tertagihkan di periode berikutnya. Sayang, konsep ini ternodai oleh kenakalan permainan dan kerakusan pihak-pihak tertentu yang ‘memaksa’ orang untuk berlangganan musik yang dia tidak suka.
Belajar Dari Film
Bukan ingin menyamaratakan proses pembuatan film dan musik. Gue paham dalam film para aktor dibayarkannya di muka dan dari film para aktor mendapatkan project-project lainnya. Di musik, sebagai musisi yang membuat musik, menciptakan lagu dan menyanyikannya lebih seperti pejuang tunggal. Makanya musisi lebih berharap agar karya ciptanya dihargai lebih lagi. Namun kalau gue lihat disini ada kesamaannya yaitu dimana hak cipta atas karya cipta itu baik film atau musik dipertahankan dan diperdagangkan.
Lisensi itulah yang dipegang oleh produsen film untuk dapat didagangkan kembali kepada pabrikan cakram padat ataupun hak siar stasiun televisi. Musik pun harus melihat hal yang sama. Gue bukan bilang kalau lagu di gratisin gak boleh. Cuman ketika loe bilang bisnis musik dan ingin mendapatkan uang dari bermusik loe. Mulailah untuk memikirkan bagaimana karya yang loe buat dilindungi secara hukum. Ya itulah dengan memiliki lisensi yang bisa didapatkan dengan bergabung dengan publisher.
Kalau industri film menyasarnya ke televisi, mengapa musik tidak menyasar ke radio? Maksudnya film mendapatkan royalti dari penyiaran film mereka di televisi. Kenapa musik tidak mendapatkan hal yang sama. Beberapa diskusi yang sempat gue hadiri terasa bahwa radio tidaklah se-fair- (sorry to say) sebagaimana televisi. Televisi akan menyebarkan rate card perihal film apa yang akan ditayangkan kepada agensi untuk mendapatkan iklan. Radio pun mencari pendapatannya dari iklan, tetapi mengapa jarang diumumkan lagu apa saja yang diputar?
Jika dalam paper Berklee College of Music diatas menyebutkan musik itu lebih kepada konsumsi pribadi sehingga tidak dapat diperlakukan sama dengan merental film dengan sewa, gue bilang agak keliru. Lihatlah dengan menjamurnya tempat Karaoke di Indonesia. Karaoke adalah aktifitas menikmati lagu secara rame-rame. Selama ini karaoke hanya membayarkan secara bulk kepada collecting society dan ini harus diperbaiki. Mungkin dengan tidak membebankan biaya per-lagu kepada pengguna mesin karaoke. Gue lebih nyamannya, dari kaca mata konsumen, biaya yang dibebankan adalah fix cost yang termasuk kepada biaya sewa karaoke. Urusan royalti per lagu bisa dibuatkan secara pro-rata.
Kuncinya adalah pemahaman tentang lisensi musik. Gue masih belajar dan dalam proses belajar ini gue menemukan banyak opportunity yang bisa digarap dalam bisnis musik. Gue akan bagi beberapa pengetahuan yang gue dapat disini. Tungguin.
One Comment
Comments are closed.