Lisensi Musik di Indonesia Dan Kisah Landak di Musim Dingin

My name is Widi Asmoro.

sosialisasi lisensi musik di indonesia

Beberapa hari lalu gue sempat menyoroti soal lisensi musik di Indonesia lewat akun Twitter gue. Ini ada kaitannya dengan undangan dari rekan-rekan di kelompok kerja (pokja) yang sedang mencoba menata ulang sistem lisensi musik di Indonesia. Undangan yang merupakan sosialisasi tentang lisensi musik kepada para pencipta lagu agar mereka dapat mendapat pemahaman dan kesadaran yang sama akan hak nya di industri musik Indonesia. Terutama kesadaran akan adanya pendapatan lain dari musik selain jualan CD dan manggung.

Acara sosialisasi tersebut berlangsung di Grand Ballroom Hotel Sultan Jakarta dengan mengambil judul yang cukup panjang, khas event-event pemerintahan, “Silaturahmi dan Buka Puasa Bersama Dalam Rangka Sosialisasi Membangun Sistem Manajemen Kolektif Satu Pintu” (LMKI). Disini gue merasa peran Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia sangat terasa sekali sebagai penggagas dan pelindung kegiatan ini. Atau mungkin gue terlalu kagum dengan sosok pak Dirjen Prof. DR. Ahmad M. Ramli, SH, MH, FCBArb yang dengan konsisten dan gigih memperjuangkan hak musisi ini supaya punya dasar undang-undang dan perangkat hukum yang kuat.

Proses Panjang Membenahi Lisensi Musik

Sempat bertanya-tanya mengapa perlu repot-repot memikirkan soal lisensi musik ini di Indonesia. Ada beberapa alasan sih kenapa ini perlu dilakukan. Yang retorika adalah alasan soal menghargai karya seni orang lain. Bocoran orang dalam dari industri musik ada yang bilang alasan pembenahan ini diperlukan akibat adanya tekanan dari pihak luar negeri yang memandang pembajakan di Indonesia sudah sangat parahnya dan terancam sanksi oleh pihak internasional. Gue jadi inget tatkala Bob Geldoff merombak total industri musik saat itu tahun ’80-an dimana label-label lokal dengan nakal memperbanyak rilisan dari artis luar tanpa membayarkan lisensinya kepada para pemegang hak tersebut. Loe bisa baca sejarah perkembangan industri musik di Indonesia di slideshare gue ini.

Yang santer belakangan ini terjadi adalah kesimpang siuran mengenai royalti yang harus dibayarkan oleh tempat hiburan seperti karaoke. Sebetulnya pengusaha karaoke tidak keberatan terhadap ‘membagi’ keuntungan dari bisnis karaoke nya asalkan jelas kepada siapa, disalurkan benar kepada pencipta lagu dan memang ada dasar hukumnya. Namun lembaga pengutip hak performing ini selalu berkelit dan akibatnya kredibilitas terhadap musik sebagai industri ini memudar dan menganggap musik sebagai barang gratis.

Karena tekanan itulah banyak kalangan menilai perlunya para pelaku di industri musik Indonesia untuk duduk bareng menata ulang industrinya tempat bersama-sama mencari nafkah. Keadaan yang kondusif serta transparan sangat dibutuhkan agar mengembalikan kredibilitas tersebut. Dan muncullah ide gagasan untuk menyatukan proses pengutipan royalti dengan membentuk sebuah Lembaga Manajemen Kolektif Indonesia (LMKI) yang merupakan gabungan antara organisasi yang ditunjuk oleh pencipta lagu, produser serta penampil lagu (performer).

Para Pembuat Musik vs Para Pengguna Lagu

Lisensi musik ini mengatur hubungannya antara para pembuat lagu dan pengguna lagu. Pembuat lagu ini adalah yang termasuk dari pencipta lagu, para produser dan juga para penampil lagu (performer). Mengutip uraian Prof. DR. Agus Sardjono, SH, LLM yang dalam kesempatan sosialisasi itu meninjau perlu tidaknya LMKI ini dari mata Undang-Undang Hak Cipta, tiga elemen tadi yaitu pencipta lagu, produser dan penampil masing-masing memiliki hak atas lagu yang dieksploitasi. Lalu yang dimaksud pengguna lagu disini adalah lembaga atau badan usaha yang menggunakan lagu untuk menambah nilai bagi usaha yang dijalankan. Jadi bukan seperti kita yang beli CD terus memutarkan lagunya di rumah untuk konsumsi pribadi.

Hubungan kurang harmonis antara pembuat musik -gue sebut tiga elemen tadi seperti itu- dengan pengguna lagu selalu mencuat ke permukaan. Yang ada kesannya para pengguna lagu itu selalu dianggap yang melanggar dan gugatan hukum pun melayang. Gugat menggugat ini menimbulkan efek enggan bagi para pengguna lagu sehingga semakin sedikit para pengguna lagu yang mau melaporkan lagu yang digunakan. Hal ini menurut Tantowi Yahya yang merupakan pengurus PAPPRI menyatakan ada potensi sebesar 100 milyar per tahun yang berasal dari Televisi, radio, hotel dn restoran yang menunggu ditagih. Dan karena keterbatasan sistem yang ada dan lemahnya kesadaran masyarakat, maka angka yang tertagih baru 7-10 milyar saja.

Tantowi Yahya yakin sekali dengan adanya sistem lisensi musik yang tertata rapih di Indonesia nantinya akan dapat memberikan kepastian usaha bagi para pengguna lagu. Lalu dapat terjadinya sinergi di industri musik antara pencipta lagu, produser dan penampil. Serta yang terakhir dan terpenting adalah musisi akan mendapatkan penghasilan bermusik yang lebih besar lagi.

Kisah Landak Dan Pekerjaan Rumah LMKI

Event tersebut berlangsung sangat cepat sekali dan sempet kehilangan gregetnya. Gue duduk semeja dengan Brian So7, Ponky Barata dan Once serta Intan “@Badutromantis”. Gue juga melihat beberapa musisi lain seperti Nina Tamam dan Lilo KLa hadir disitu. Sayang gue gak sempat mendengar mereka ikut berbicara di forum tersebut. Suasana gaduh di meja-meja yang diduduki tetua yang sibuk berdiskusi sendiri dan suara ringtone yang tidak di-silent sangat mengganggu gue yang ingin tau tentang masa depan musik Indonesia lewat forum ini.

Sukurlah ketika Abdee Slank sebagai perwakilan dari musisi tampil di mimbar suasana agak tenang, sedikit. Abdee memberikan pandangannya di mimbar ini tidak terlalu banyak dan panjang lebar. Abdee yang juga pengusaha di bidang musik dengan bisnis agregator musik IM:PORT nya ini membacakan ulang surat Chandra Darusman yang dikirimkan kepadanya. Kira-kira begini bunyinya:

Industri musik Indonesia saat ini bisa diibaratkan bagi landak-landak di musim dingin. Apa itu landak? Landak memiliki tubuh yang berduri-duri, di musim dingin yang teramat dingin membuat landak harus bertahan hidup atau menyerah mati. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah menjaga kehangatan tubuhnya dan itu hanya dapat tercapai dengan satu cara yaitu saling berpelukan atara satu landak dengan yang lainnya. Namun tubuh landak berduri-duri. Ketika mencoba berpelukan untuk bertahan yang ada antara landak satu dengan landak yang lain hanya saling melukai diri. Sampai akhirnya satu saat para landak itu sadar untuk bisa bertahan hidup dengan saling berpelukan adalah dengan menjaga duri mereka tidak melukai landak yang lain. Semoga industri musik di Indonesia dapat terus maju dan antara pihak satu dengan yang lainnya dapat saling menghargai dengan tidak melukai.

Masih banyak memang pekerjaan rumah yang dihadapi disini. Daripada buang waktu dan tenaga untuk berdebat kusir dan meyakinkan siapa yang benar siapa yang salah, memang lebih baik berdebat untuk mencari solusi dari isu carut marut lisensi musik ini. Dari pemaparan Pak Dr.Ansori Sinungan, pokja-pokja yang terbentuk dari forum-forum sebelumnya telah berusaha keras untuk membuat rancangan tatanan terhadap apa yang nanti bakal disebut sebagai sentral lisensi musik Indonesia. Gue juga hanya mendapati fokus utama LMKI ini yaitu pengguna lagu yang tak lain adalah usaha-usaha Karaoke di Indonesia yang tumbuh semakin menjamur. Belum ada bahasan mengenai pengguna lagu seperti layanan musik yang ada lewat Internet atau bagaimana tantangan-tantangan lain di industri musik untuk memberikan laporan yang transparan serta bukti hidup yaitu pencipta lagu yang sukses memaksimalkan pendapatannya dari lisensi musik.

Mari kita tunggu dan kita dukung usaha perbaikan di industri musik Indonesia biar emak kita tau kalau musik bukan sekedar hobi tetapi pekerjaan beromzet multi milyar!

 

Thanks buat Hang Dimas dan Pak Yessy Kurniawan atas undangannya!