Tempo hari, hangat-hangatnya topik dibincangkan perihal industri musik Indonesia yang terancam bubar atau dengan kata lain kiamat pasca ditutupnya toko kaset/CD Aquarius di daerah Mahakam, Blok M. Lebay sih emang, yang melontarkan ini pun nampaknya sudah out-dated dari jaman old-skul. Gue jadinya ingin juga angkat bicara lewat blog Music Enthusiast ini. Maklum baru sempet update blog lagi dikarenakan kesibukan gue sekarang yang mengasuh toko musik digital di Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam selain Indonesia, jadinya tulisan-tulisannya hanya nyangkut di draft.
Yang Mana sih Yang Disebut “Industri Musik Indonesia” itu?
Sebelum melangkah lebih dalam lagi, coba deh kita tanyain lagi, yang mana sih yang disebut industri musik Indonesia itu? Apakah jual beli CD dan kaset itu merupakan industri musik Indonesia satu-satunya? Lalu bagaimana penulis lagu yang menyambung hidup dari menjual lagunya untuk dinyanyikan oleh artis lain? Apakah mereka tidak termasuk dalam industri musik? Kemudian bagaimana dengan musisi yang juga menyambung hidup dari panggung ke panggung? Apakah mereka tidak termasuk dalam industri musik juga?
Terlalu banyak ambigu ketika melontarkan kata “industri musik” yang diasosiasikan dengan “jualan CD dan kaset”. Bukan, bukan hanya itu. Salah kaprah yang telah terbangun lama membuat banyak orang mengira terjun ke industri musik yah sama dengan jualan CD dan kaset. Padahal menjadi roadies atau sound engineer ataupun event organizer merupakan satu integritas yang membangun industri musik itu agar tetap tumbuh. Dan gue yakin, yang melontarkan kalimat industri musik Indonesia kiamat ketika toko CD Aquarius Mahakam tutup yah pedagang CD dan kaset juga orang-orangnya. 🙂
Retrospective 2013
Mundur kebelakang sedikit jika mengamati geliat industri musik di Tanah Air ini, sebetulnya sudah banyak inovasinya lho. Sebutlah saja ketika akhirnya iTunes layanan musik digital global membuka aksesnya untuk pengguna di Indonesia merupakan satu diantara banyak alternative pecinta musik mendapatkan musik secara legal. Deezer yang fokus dengan streaming musiknya pun sudah dapat diakses di Indonesia. Di penghujung Agustus 2013, Nokia Music yang kemudian berganti nama menjadi Nokia MixRadio menawarkan 18 juta lagu lebih yang bisa diakses secara gratis di Indonesia. Artinya pilihan orang-orang untuk mendapatkan musik tak lagi terbatas kepada CD atau kaset. Layanan musik digital berskala global pun sudah tersedia di Indonesia.
Bisnis model untuk menjual musik pun semakin beragam -kalo gak boleh dibilang kusut :p. Sebutlah JKT48 yang mengemas sajian hiburannya dengan menawarkan tarian, musik dan juga merchandise. Mereka juga dapat dibilang ikutan berkontribusi kepada industri musik di Tanah Air juga karena berhasil menarik animo orang untuk menikmati musiknya dan membeli sesuatu yang berhubungan dengan musik seperti CD ataupun download digital.
Lisensi musik di Indonesia juga terus diperjuangkan agar dapat terstruktur rapih dan memberikan kemudahan bagi penggunanya. Konser musik pun terbilang cukup marak digelar di tahun 2013 dan kemungkinan akan makin marak lagi di tahun 2014 terutama menjelang Pemilu. Konser yang gue maksud disini ya juga termasuk menggelar panggung di alun-alun dengan iringan musik dangdut. Well, itukan juga industri musik 🙂
Melangkah Lebih Semangat 2014
Mumpung nih masih bulan Januari di tahun 2014, masih belum terlambat untuk terjun ke industri musik dan menjadi sukses. Buat gue kata kuncinya adalah: Fans Empowerement. Adanya social media dan website-website untuk mempromosikan musik seperti Soundcloud dan YouTube merupakan kelebihan tersendiri buat kita “Generasi Internet”. Buatlah konten semenarik mungkin yang disukai dan “retweet-able” oleh para fans.
Kemunculan aggregator musik lokal dapat dimanfaatkan untuk membantu mendistribusikan musik lebih luas. Sekarang pasar musik bukan Indonesia saja, think globally! Film “Searching for Sugar Man” bukan sekedar film yang diangkat dari kisah nyata. Musik loe mungkin juga bisa bernasib sama, gue sempet pernah merasakan itu saat Everybody Loves Irene masih aktif. Apalagi dengan kebijakan pemerintah membuka perdagangan bebas, jangan sampai panggung musik lokal kita kecolongan oleh kehadiran musisi asing. Tetapi kita juga harus bergegas berekspansi untuk mencolong kesempatan tampil di negeri tetangga. Hehe!
Format musik mungkin berubah, dari vinyl ke kaset lalu ke CD kemudian digital download dan sekarang streaming. Orang sekarang dapat menikmati musik dengan hadir di tempat pertunjukan atau pertunjukan itu hadir ditengah mereka lewat konser streaming. Itu hanya soal pilihan. Musik belum kiamat setidaknya selama orang masih suka mendengarkan musik, menikmati konser dan membeli sesuatu dari situ, industri musik belum kiamat dan akan terus hidup.
dan jangan juga menyebut “industri musik” dengan laku tidaknya RBT. Kuno.