Format musik seperti kaset, CD ataupun vinyl dianggap paling mewakili kesuksesan karir seorang artis atau musisi. Ukuran itu sudah dipakai berpuluh-puluh tahun lamanya untuk menilai bahwa sebuah karya musik dianggap bagus dan diterima oleh mayoritas masyarakat. Namun kini ketika musik dinikmati lewat transformasi bentuknya yang tak sekedar fisik saja seperti mendengarkan lewat streaming atau menonton konser, apakah yang menjadi tolok ukur kesuksesan seorang artis atau musisi?
Musik Sebagai Bentuk Pengalaman
Cara menikmati musik kini tak melulu berpatokan pada satu bentuk saja. Orang-orang di Jepang masih sering membeli CD untuk menikmati lagu-lagu dari artis kesayangannya. Amerika Serikat memimpin dalam kaitannya digital music download tentunya lewat platform toko musik, iTunes. Di daratan Eropa, banyak orang menikmati musik lewat streaming di internet. Negara-negara di Asia seperti Vietnam, Thailand dan Indonesia menikmati musik dengan tampilan visual secara streaming dengan YouTube.
Bahkan format Vinyl dikabarkan mengalami lonjakan penjualan di Inggris dan beberapa negara lain. Padahal pabrik-pabrik pembuat plat vinyl tergolong sudah teramat langka. Mungkin hanya tinggal di beberapa negara di dunia saja yang punya pabrik yang memproduksi plat vinyl. Penikmat musik dengan mendengarkan melalui vinyl mempunyai alasan tertentu untuk tetap membeli dan mendengarkan musik. Suatu pengalaman yang berkelas.
Seperti gue sampaikan diatas, musik menjadi sebuah bentuk pengalaman gak peduli formatnya seperti apa. Bahkan jika gue coba lihat lebih kedalam lagi di bisnis musik, format musik mau fisik atau digital sekarang batasannya menjadi samar dalam hal mana yang diminati. Di masa variasi media yang musti kita rayakan ini gue melihat banyaknya peluang untuk dapat mengambil hati pecinta musik untuk jatuh cinta pada musik yang kita bawakan. Masalahnya sekarang bagaimana kita dapat mencuri perhatian agar mereka berinteraksi dan merasakan pengalaman dari musik yang kita tawarkan.
Internet menjadi taman bermain tersendiri bagi orang-orang masa kini. Mengintip lagu yang sedang disukai oleh teman-teman di twitter lewat #nowplaying. Menyanyikan ulang (cover version) lagu yang lagi hits dengan versi nya sendiri lalu mengupload nya di YouTube atau Soundcloud. Hal-hal itu menjadi suatu yang lumrah dan biasa dilakukan. Batasan pemahaman apakah musik yang mereka nikmati itu legitimate atau pirated sudah jarang diperhatikan.
Mencari Sedikit Peluang Untuk Terkenal
Gue sudah cukup lelah dengan ‘the battle of piracy’ yang sering digembor-gemborkan. Hak intelektual memang wajib dihormati tetapi untuk mencapai satu level penghormatan apakah sebuah karya sudah memiliki nilai? Soal nilai atau value gue mau nulis nanti. Yang gue rasakan selama tur Asia edisi kedua ini adalah masih ada peluang buat musisi di manapun untuk dapat terus meraup keuntungan dari bisnis musik. Mereka tumbuh dengan keterbatasan dan kelebihan yang ada.
Contoh saja di Cina, musik sudah dianggap suatu yang dapat dimiliki tanpa membayar. Tetapi artis-artis Cina makin hari jumlahnya bukan makin sedikit. Kebetulan gue juga ke Thailand dimana sedang berunjuk rasa. Gue melihat banyak musisinya tampil di panggung-panggung solidaritas dan banyak orang ikutan bernyanyi.
Format musik yang tepat rasanya sudah tidak relevan lagi diperdebatkan. Apalagi membandingkan konsumsi minum kopi di Starbucks dengan membeli CD. Bener-bener salah kaprah. Musik haruslah dilihat dari berbagai sisi yang memungkinkan orang untuk dapat menikmatinya. Seperti contoh gambar diatas adalah sebuah single dari musisi Thailand: Singto Numchock yang merilis singlenya dalam bentuk music box. Mereka masih melihat musik sebagai sarana kreatif dan buat banyak orang menjadikan musik sebagai saran hiburannya (rekreasi) tersendiri.
Industri Musik Yang Baru
Kita di era yang baru sekarang buat industri musik. Hitungan kesuksesan musisi bukan lagi soal berapa banyak jumlah keping yang terjual. Beberapa orang mengambil patokan dari berapa jumlah konser dan tiket penonton yang laku. Ada juga yang menghitung kesuksesan berdasarkan jumlah views di YouTube ataupun angka followers Twitter maupun fans di Facebook. Semua angka dianalisa demi meyakinkan apa yang dilakukan kita di industri musik mendapatkan hasil.
Buat gue kalau gue memegang satu produk musik lagi katakanlah itu artis atau album, gue akan melihatnya sebagai one-stop entertainment. Kesuksesannya akan berpatokan pada jumlah fans yang berhasil ikut serta berperan aktif pada karir siklus hidup si produk artis atau album ini. Jangka waktunya pun haruslah panjang dengan target per-tiga bulan untuk naik kelas ke tahap berikutnya. Format musiknya pun diambil dari yang paling banyak disukai oleh fans musiknya. Bisa itu fisik ataupun digital selama tugas menghibur kita bisa diterima dengan baik oleh fans.
Balik lagi, selama orang masih suka musik tentu saja industri musik masih tetap akan hidup dan musik kita harus bisa menjadi bagian dari hidup itu.
Jadi inget kalau gak salah dulu Slank pernah ngeluarin album dalam bentuk HP, tapi kurang tau deh laku/tidaknya 😀
Btw, salam kenal 🙂