Setelah sebelumnya karaoke dipersoalkan oleh pencipta lagu lewat YKCI, sekarang bisnis rumah bernyanyi tersebut kembali lagi dituntut, kali ini oleh perusahaan rekaman.
Kemaren gue mendapati berita tentang konfrensi pers perusahaan rekaman yang menghimbau tempat karaoke atau disebutnya sebagai rumah bernyanyi. Tadinya gue pikir ini adalah bentuk sosialisasi terhadap lisensi musik yang tengah dibenahi. Berita yang muncul adalah gugatan terhadap jaringan karaoke InulVizta yang dianggap menggunakan lagu-lagu rekaman tanpa ijin dari perusahaan rekaman. Padahal tahun lalu InulVizta sudah pernah dituntut.
Lalu yang jadi pertanyaan adalah kenapa ada dua pihak yaitu pencipta lagu dan perusahaan rekaman, yang menuntut bisnis karaoke ini? Dan pertanyaan lainnya adalah mengapa musisi musti paham duduk permasalahannya ini?
Bukan Soal Jeruk Makan Jeruk Industri Rekaman
Maaf yah mas Bens Leo yang terhormat. Komentar soal “Jeruk Makan Jeruk di industri rekaman” ini seakan mengaburkan permasalahan soal hak musisi dan kewajiban pengguna musik yang ada disini. Gue juga agak kurang setuju kalau yang jadi alasan gugatan adalah karena industri musik saat ini sedang mengalami penurunan jadi mencari sumber pemasukan dengan menempuh jalur hukum. Lalu terjadi gontok-gontokan sesama pemain industri musik sendiri. Seperti kata pak Rahayu, pimpinan NagaSwara, yang dikutip dari detik, “Industri musik kita nggak kaya dulu lagi.” Jadi kesannya dulu boleh pakai lagu tanpa lisensi karena dulu masih kaya (?). Agak ambigu jadinya. Padahal ini ya itu tadi ini soal hak dan kewajiban.
Kesan dipermukaan yang jadi seakan membenarkan pemakaian lagu tanpa lisensi selama layanan yang menggunakan lagu tersebut selama belum banyak yang pakai dan selama industri musik masih dapat pemasukan yang bagus. Kalau sudah banyak yang pakai dan industri musik lagi BU baru dituntut biar hasilnya ‘terasa’. Padahal bisa saja skenarionya ketika suatu layanan musik punya pengguna banyak, si founder layanan tersebut bisa exit (istilah yang banyak digunakan di dunia start-up, dimana menjual perusahaannya setelah mendapatkan pendanaan yang besar) lalu cuci tangan dari kasus pelanggaran hak cipta.
Iya sih meski pada prakteknya banyak gugatan hukum di industri musik baru mengincar pemain-pemain kelas kakap. Contohnya kasus Megaupload yang melibatkan KimDotCom atau ya ini rumah karaoke Inul Vizta yang punya cabang banyak. Seyogianya yang harus diperhatikan disini adalah soal pemahaman penggunaan lisensi musik dan baik pengguna musik (termasuk pendengar, fans atau usahawan musik) serta musisinya sendiri mulai mempelajari tentang ini.
Lisensi Musik Pada Rumah Bernyanyi Atau Karaoke
Sangkalan dulu (disclaimer) nih kalau gue bukan pengacara dan artikel blog ini bukan landasan hukum jadi loe harus berkonsultasi dengan pengacara atau pakar hukum yang paham betul untuk membantu loe mengatasi masalah lisensi musik. Gue hanyalah praktisi yang pernah menggunakan lisensi musik dan artikel blog ini dikumpulkan dari riset tanya sana tanya sini dengan pelaku musik lainnya.
Mengenai perlindungan hak cipta, di UU No. 19 Tahun 2002 pasal 2 sudah jelas. Prinsip dasarnya ketika sebuah karya musik itu dbuat atau diciptakan adalah sebenernya sudah dilindungi oleh hak cipta. Yang kadang menjadi pe-er adalah mendaftarkan hak cipta tadi ke instansi yang terkait untuk mendapatkan legitimasi dan diolah hak ekonominya. Jadi ini bukan soal loe musisi indie atau musisi yang dinaungi label gede yang bisa menuntut akan hak loe. Semua pembuat hak cipta berhak atas karyanya. Tetapi yang bikin jiper dari musisi indie ketika menuntut hak nya adalah biaya yang harus dikeluarkan saat menempuh jalur hukum.
Karya cipta ketika sudah diumumkan serta dibuat dalam format rekaman biasanya ada pihak-pihak yang ‘memiliki’ karya tersebut. Pertama adalah pembuat karya cipta atau pencipta lagu yang biasanya diserahkan pada publisher dan kedua yaitu produser rekaman yang biasanya adalah perusahaan rekaman yang punya memiliki bentuk rekaman fisik (atau digital) nya.
Gue ilustrasikan seperti ini. Ketika loe beli sebuah CD atau rekaman musik digital, hak penggunaan musik tadi diberikan untuk loe gunakan pribadi. Jadi loe boleh memutar musik untuk kepuasan sendiri dan bukan di tempat umum untuk kepentingan komersil. Yang terjadi pada rumah bernyanyi atau karaoke adalah karya musik tadi diputar di tempat umum apalagi karya tersebut di komersialisasi lagi. Di komersialisasi lagi itu maksudnya musik digunakan untuk mendapatkan keuntungan lagi. Bayangkan kalau rumah bernyanyi itu tidak menyediakan musik. Ya jadinya cuma kamar-kamar saja dong dan bukan rumah bernyanyi.
Nilai lisensi yang harus diberikan kepada rumah bernyanyi oleh pemilik karya cipta tadi jadi berbeda. Bentuk yang semacam ini biasanya menjadi ranahnya publisher musik untuk mendapatkan hak atas lagu yang disiarkan. Ingat kasus sebelumnya, InulVizta dikejar-kejar KCI? Ini dikarenakan InulVizta dianggap lalai untuk menunaikan kewajibannya memberikan hak kepada pemilik karya cipta.
Lalu masih dengan ilustrasi yang sama ketika loe beli sebuah CD atau rekaman musik digital, ada hak penggandaan atau pemindahan karya musik kedalam suatu format atau tempat lain. Dulu saat hukum copyright ini dituliskan pertama kali, proses pemindahan karya musik kedalam suatu format lainnya hanya bisa dilakukan oleh pabrik. Dengan kemajuan teknologi, pemindahan karya musik ini kini semudah copy-paste namun prinsipnya tetap sama. Pada kasus rumah bernyanyi atau karaoke ini juga terjadi proses pemindahan karya musik ketika musik tersebut dimainkan dari kamar ke kamar atau jika rumah bernyanyi ini memiliki jaringan luas, karya musik ini digandakan pada tiap cabang. Prinsip inilah yang digunakan tempo hari oleh perusahaan rekaman untuk menggugat InulVizta atas hak mekanikal karya musik.
Permasalahan Bersama
Musisi perlu paham akan hal ini karna ini adalah hak mereka. Bayangkan pengusaha bisnis rumah bernyanyi atau karaoke ini mendapatkan keuntungan dari sewa kamar dan juga jualan makanan berkat pengalaman bernyanyi tadi. Kalau pengusaha tersebut merasa tidak perlu berbagi lagi kepada pemilik musik yang lagunya telah mengundang pengunjung datang ke tempatnya, rasanya keadilan telah mati.
Produser rekaman lewat perusahaan rekaman dan publisher musik lewat collecting society tengah berupaya untuk ‘menanyakan’ hak mereka yang sudah digunakan untuk komersil. Karena ini bakalan menyangkut tatanan ekonomi yang lebih besar lagi untuk menyokong lahirnya musik-musik baru yang berkualitas. Jadi penikmat musik dapat disuguhi berbagai macam musik baru yang nggak itu-itu lagi.
Rancangan perundang-undangan hak cipta yang bakalan disahkan akhir tahun ini sempat gue baca sekilas kemaren di kantor ASIRI isinya sangat menjanjikan untuk memberikan perlindungan yang jelas. Bukan hanya buat industri musik tetapi semua industri yang menggunakan hak cipta seperti fotografi, pertunjukan dan sebagainya.
Mengabaikan pemahaman soal lisensi musik akan mengancam tatanan industri musik. Tetapi kalau memang loe pengen mengangaggap membuat musik itu gratis dan industri lain boleh berbisnis dengan menggunakan musik tanpa harus menghiraukan hak ekonomi loe, yah resiko ditanggung penumpang. Jangan sampai deh industri musik di Indonesia menjadi seperti Cina atau Vietnam. Dimana musik itu bisa didapat dimana saja (gratis) sedangkan untuk menyambung hidup musisi mengandalkan dari panggung ke panggung. Yang sekarang ini dengan adanya portal video macam YouTube atau Vimeo dimana penampilan manggung dapat direkam lalu bisa di-monetize (yang mungkin oleh orang lain juga), musisi hanya mendapatkan bagian terkecil dari sebuah karya yang dibuatnya.
Jadi memahami soal lisensi musik itu penting sekali. Kalau hal seperti ini saja tidak dihiraukan, apakah mungkin generasi di masa mendatang bisa bermusik dan dapat dijadikan pengharapan hidup?
– sambil ditemenin MixRadio “If You Tolerate This – Manic Street Preachers”