Di hari kedua seminar/training performer’s rights, bahasannya sudah semakin mengkerucut kepada hak ekonomi pada pelaku seni pertunjukkan terutama musik. Masih dengan Sam Masuyama dan John Lesacca yang menjadi mentor khusus untuk berbagi pengalaman dari praktek perlundungan hak cipta dan hak terkait yang ada di negara mereka. Prof. Victor Nabhan yang merupakan guru besar dari Nottingham University dan Prof Muh. Hawin mengamati seksama jalannya seminar dan sesekali memberikan pandangannya. Dan di hari kedua ini, Djanuar Ishak menjadi pamungkas seminar dengan topik untuk memperjuangkan hak pemain musik.
Hak Terkait Buat Para Musisi
Selama ini jika kita bicara soal Hak Cipta dibayangan kita adalah membicarakan tentang pencipta lagunya. Padahal sebuah lagu ciptaan akan baru bermakna ketika komposisi nya dimainkan oleh musisi dan diproduksi menjadi rekaman dan dipertunjukkan/diumumkan secara luas. Di Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014, peranan musisi penampil dan juga produser rekaman disertakan disini dan disebut sebagai Hak Terkait yang ada pada hasil karya cipta.
Jadi jika sebuah karya cipta diputarkan di tempat umum dan menimbulkan bisnis bagi yang memutarkan, sudah sewajarnya jika yang memiliki karya cipta tersebut mendapat bagian dari bisnis yang dihasilkan. Sebagai contoh, di media radio dimana sekarang ini dianggap sebagai media promosi untuk lagu-lagu. Dengan dalih seperti itu, media radio menayangkan lagu tanpa harus membayar sepeserpun kepada pemilik lagu. Padahal dengan menayangkan lagu, radio tersebut memperoleh pendengar dan dari pendengar itu maka radio bisa menjual airtime nya kepada pengiklan. Harusnya sudah menjadi wajar dong jika musisi dapet bagian dari hasil iklan yang didapat?
Namun ceritanya sekarang ya nggak begitu. Karena hegemoni media terlalu besar dan takut kalau tidak diputar lagunya dan terancam karirnya di industri musik, maka dengan suka rela lagu-lagu diputar tanpa dibayar malah kalau perlu membayar demi diputar. Logika yang salah dan dibiarkan namun sering gue jumpai masih ada di kalangan musisi terutama yang baru-baru.
PRISINDO Sebagai Perkumpulan Musisi
Agar terkordinasi dengan baik dan juga dapat tersalurkan hak nya para musisi, maka pada tahun 2010 sebetulnya sudah dibentuk perkumpulan pelaku seni musik pertunjukkan atau disebut sebagai Lembaga Hak Pelaku Pertunjukkan Indonesia, bahasa kerennya Performer’s Right Society of Indonesia (PRISINDO). Perkumpulan ini punya susunan sebagai berikut:
- KRIS BIANTORO—Ketua Umum
- KOES HENDRATMO—Ketua Satu
- Didiek SSS — Ketua Dua
- B. TAMAM HOESEIN —Pengawas
- AGUS EDWARD RANTUNG — Bendahara
- DJANUAR ISHAK — Sekretaris.
Gue beruntung sekali kemaren bisa bertemu langsung dengan Djanuar Ishak atau akrabnya dipanggil Om Chen. Meskipun senior tetapi beliau dermawan sekali berbagi pengetahuannya tentang hak buat para musisi penampil. Mengingat reputasi beliau sebagai musisi kawakan dari era 70an dan juga komposer banyak lagu termasuk lagu hits semasa saya SD yaitu SKJ 88, rasanya adalah anugrah bisa mendengar buah pikirannya.
Menurutnya, di Indonesia ini potensi untuk musisi penampil bisa menggantungkan hidup untuk menjadi musisi penuh waktu sangat besar. Tentunya jika sistem dimana hak untuk pelaku musik itu bisa berjalan dengan baik. Sebagai ilustrasi saja, di negara yang udah makmur macam di benua Eropa dan Amerika, menjadi pemain biola untuk sebuah orkestra saja sudah bisa untuk menjadi profesi penopang hidup. Di Singapura dan Filipina, tren untuk menjadi profesional musisi semakin tumbuh dengan adanya jaminan dari sistem yang berjalan. Jadi bukan hanya musisi dalam band yang kebagian hak ekonomi, tetapi musisi pengisi dalam rekaman atau session player juga dapat menikmati hak ekonomi dari hasil rekaman tersebut.
Menancari Generasi Berikutnya
Kami sempat melanjutkan obrolan seusai Seminar di Kuningan City. Ngobrol-ngobrol bareng Om Chen dan juga Tere, Irfan “Samsons”, Robin Malau, Hang Dimas dan Binsar ini sangat bergizi sekali (ditambah dengan ribs khas Outback yang besar tentunya). Om Chen sangat peduli banget akan profesi musisi penampil ini. Namun Om Chen sadar tenaganya sudah tidak lagi sekuat dahulu. Ia mencari penerus semangatnya ini untuk memperjuangkan hak para pemain musik. Jika tidak ada penerusnya yah lebih baik dibubarkan saja, meskipun sayang akhirnya jika hak tersebut tidak ada yang memperjuangkan.
Dengan keberadaan Prisindo bisa dilihat sebagai wadahnya musisi untuk memperjuangkan haknya. Sehingga tidak ada lagi orang yang masuk ke industri musik hanya untuk mencari ketenaran tetapi juga bisa mencari tumpuan hidup. Prisindo dapat sebagai wadah kolektif jika ada ketidakadilan dalam kontrak rekaman, misalkan. Atau untuk lebih memahami lagi apa sebetulnya hak-hak mereka sebagai musisi penampil. Dan juga memahami bagaimana bisnis lain yang timbul akibat sebuah lagu diputarkan.
Gue sendiri sih sudah cukup kenyang dicurhatin musisi yang merasa dizolimi oleh kontrak rekaman atau kontrak pertunjukkan. Meskipun dalam hati bertanya kenapa mereka waktu dulu mau yah tanda tangan kontrak tersebut? Misuh-misuh di belakang nggak menyelesaikan masalah. Jika loe emang konsern terhadap masalah ini, yuk ikutan gabung. Email aja data diri loe ke prisindo@gmail.com atau loe komen dibawah ini supaya nanti kalau gue ada kesempatan untuk bertemu beliau bisa ngajakin loe juga untuk bisa ketemu bareng.