Rasanya sudah saatnya Indonesia memiliki Arsip Musik Nasional. Dan tulisan gue berikut ini juga sebagai tribute untuk Denny Sakrie, pengamat musik Indonesia yang juga archievist, yang hari ini dipanggil kembali ke sisi-Nya.
Musik adalah bagian budaya. Seharusnya kita bisa melihat dari sisi ini sebagai warisan dan menyimpannya dalam arsip yang rapih serta mudah diakses. Sehingga kita dapat pelajari untuk membuatnya lebih baik terutama untuk generasi setelah kita. Mudahnya gue mengambil contoh arsip seperti yang dilakukan allmusic.com. Disitu segala rilisan internasional (baca: western) tercatat rapih dari sejarah tentang rilisan, tahun rilis, komposer, siapa yang meng-cover hingga mood/nuansa dari lagunya pun ada. Sayangnya, Indonesia belum punya arsip musik nasional seperti itu.
Problematika Arsip Musik Nasional
Pertumbuhan label musik di Indonesia tiap tahun semakin ada saja. Meskipun beberapa label rekaman gulung tikar, tidak menyurutkan pengusaha lainnya mencoba peluang untuk membuat label rekamannya sendiri. Awal tahun 2000-‘an, fenomena menarik terjadi akibat iklim bisnis yang kondusif serta kemajuan teknologi modern di industri musik. Kemunculan label rekaman independen membuka kesempatan musisi yang tidak mendapat kesempatan masuk ke major label (baca: Sony Music, Musica Studios, dsb) untuk mendapatkan kesempatan mengenalkan karyanya lebih luas.
Periode yang paling menarik adalah saat bisnis content provider booming di tahun 2004’-an. Musik yang dirilis kepasaran bukan hanya berasal dari perusahan yang berbisnis menjual CD dan kaset, tetapi perusahaan penyedia konten ikutan melempar musik. Apalagi internet di Indonesia semakin diadopsi luas. Musisi tanpa label rekaman pun dapat mempublikasikan karyanya contohnya lewat MySpace. Tentunya ini didorong oleh banyaknya musisi yang produktif membuat karya. Kemudahan rekaman secara digital dan juga semakin terjangkaunya harga alat-alat musik turut menjadi faktor. Dan yang paling menjadi motivasi adalah kisah sukses pemuda desa datang ke kota macam Sheila on 7 atau Padi yang meraup rezeki dari bermusik semakin mendorong orang Indonesia menjadi pemusik.
Akhirnya kita disodori oleh banyak karya musik Indonesia yang dilempar ke pasar. Harap-harap ada satu yang bisa sukses supaya bisa diikuti kesuksesan lainnya. Model bisnis pareto pun semakin membuat rilisan menjamur. Music Director di radio-radio umumnya menerima 10-15 single baru tiap minggunya. Yang bisa diputer di radio mungkin hanya sekitar 2-5 single yang dirasa ear-catchy. Sisanya, bergerilya untuk keluar dari obscurity dengan kampanye di internet, perbanyak manggung atau apapun caranya.
Tetapi tidak ada yang mencatatnya. Memang tidak ada kewajiban bagi setiap produser untuk mengirimkan rilisan barunya agar tercatat. Meskipun kini dengan kehadiran iTunes dan banyak layanan musik global di Indonesia, sedikit demi sedikit mulai dipaksakan untuk mulai mencatatnya secara rapih lewat kode ISRC (International Standard Recording Code). Lagu-lagu Indonesia perlahan tercatat secara digital oleh arsip musik Internasional. Sayangnya, arsip tersebut tidak dikelola oleh orang Indonesia. Rasa kepemilikan menjadi minim sehingga banyak data-data yang salah informasi.
Lewat Jack Simanjuntak, pengajar di Sound Design & Music Production, Conservatory of Music Universitas Pelita Harapan, gue tau bahwa banyak catatan-catatan musik Indonesia terutama musik daerah tersimpan dengan baik di Amerika Serikat. Lha kok malah di luar negeri? Sebabnya demi pendidikan mereka berani berinvestasi untuk ini. Smithsonian Folkways mempunyai catatan-catatan penting serta rekaman musik asli Indonesia. Loe bisa intip disini http://www.folkways.si.edu/search/?query=indonesia .
Mereka Yang Sudah Mulai Mengarsipkan Musik Indonesia
Kita tidak memulainya dari nol. Almarhum Denny Sakrie sangatlah aktif untuk menuliskan musik-musik Indonesia lewat blog https://dennysakrie63.wordpress.com/. Banyak musisi lawas ataupun masa kini yang ia paparkan disini. Meskipun yang ia tuliskan tentunya terbatas untuk selera musiknya. Galeri Malang Bernyanyi dan Irama Nusantara juga telah memulai usahanya untuk mencatatkan periode rilisan musik yang ada di Indonesia. Ternyata Indonesia sangat kaya dengan rilisan musik. Silahkan buka-buka kembali tulisan lawas gue disini http://www.widiasmoro.com/2011/01/21/museum-musik-indonesia/.
Sebelum tahun baru 2015, gue menyempatkan silaturahim dengan pimpinan JK Records, Leonard Kristianto yang akrab disapa Nyo. Beliau bersama staff nya, Rudy, dengan semangat bercerita tentang ‘harta karun’ yang mereka miliki buat sejarah musik Indonesia. Beliau mencontohkan rekaman lagu yang ditukar-tukar penyanyinya. Contoh saja lagu A yang dipopulerkan oleh artis Y dinyanyikan ulang oleh artis Z padahal artis Y merilisnya baru-baru saja. Ini dikarenakan kebutuhan untuk tampil di TV saat itu yang hanya membolehkan artis menyanyikan lagu yang sudah terkenal. Banyak anak muda masa kini yang tidak tahu tentang adanya lagu-lagu semacam ini. Yah termasuk gue yang baru tau juga.
Dalam FGD penyusunyan buku cetak biru Ekonomi Kreatif sub sektor musik, ditemukan bahwasanya Arsip Nasional Republik Indonesia pun menyimpan beberapa karya rekaman musik Indonesia. Pak Yonathan Nugroho selaku pimpinan Trinity Optima Production mengutarakan pihaknya pernah ‘menyetor’ karya rekaman ke lembaga non-kementrian milik Pemerintah ini. Berarti sudah ada proses pengarsipan di Indonesia dan mungkin kedepannya harus lebih terpadu.
Arsip Musik Nasional Untuk Kemajuan Musik Indonesia
Pencatatan rilisan musik Indonesia pada arsip musik nasional bisa menjadi awal untuk mulai melihat besarnya potensi yang ada di subsektor musik Indonesia. Saat ini untuk mengetahui lagu apa yang paling populer di satu tahun tertentu misalkan 2014 saja bukanlah hal mudah. Banyak yang bilang lagu Geisha “Lumpuhkanlah Ingatanku” masih menjadi juaranya, tetapi sebagian orang bilang lagunya Wakwaw dari Sinetron di SCTV lah yang menjadi anthem di 2014. Entahlah.
Bahkan untuk mengembangkan bunyi-bunyian baru khas Indonesia pun dapat memanfaatkan arsip musik ini, jika kita punya. Sound Bank yang ada di dunia ini membutuhkan suatu yang fresh dan gue yakin Indonesia memilikinya. Banyak bebunyian dari Timur Indonesia yang belum tereksplor dan tereksploitasi. Banyak mahasiswa Barat bahkan datang ke Indonesia untuk belajar tentang bebunyian ini.
Gue sebenernya juga ingin melanjutkan proses pengarsipan yang sudah gue pernah mulai. Foto di artikel ini adalah lemari tempat menyimpan koleksi CD gue. Mungkin gue akan melanjutkannya lagi di tahun ini. Setidaknya gue punya dasar mengelompokkan lagu sewaktu masih bekerja di Sony Music dan juga model pengarsipan digital waktu bekerja di Nokia. Yah semoga saja ini bisa menjadi salah satu sumbangsih personal yang bukan lagi cuma menyediakan another play button.
ada yang baru tuh http://swaramaya.com/
terima kasih atas informasinya. 🙂
Sebenernya sih kalau diniati bisa. Modalnya diantaranya adalah server yang bisa menampung musik dalam format digital (loseless). Infrastrukturnya saja bisa memakan biaya milyaran rupiah. Semoga ada perusahaan atau filantropis yang berkenan membiayainya…