Ad-funded music semakin lazim dibicarakan dewasa ini. Apalagi dikaitkan tentang siapa yang mau membayar untuk sebuah musik. Mengingat pasar Indonesia yang dianggap memiliki daya beli terhadap musiknya lemah. Jika kebanyakan musik yang dikonsumsi (baca: didengarkan) adalah yang gratisan tanpa keinginan membeli, lalu kalau begini terus, bagaimana industri musik Indonesia dapat terus bertahan?
Psikologi Fans Dalam Membeli Musik
Para psikolog di Universitas Leicester melakukan studi terhadap perilaku manusia mendengarkan musik. Riset yang dilakukan pada 346 mahasiswa, anak-anak, pekerja dan pengangguran yang berusia antara 17 hingga 78 tahun menyimpulkan bahwa kebanyakan manusia tidak terlalu menghiraukan atas musik apa yang mereka dengar. Mereka menjadi pendengar pasif dengan tidak terlalu memilih atas musik apa yang didengarkan. Musik hadir sebagai ‘teman’ yang temanya dapat disesuaikan dengan saat mereka sedang apa (istirahat atau berkendara) atau musik sebagai teman yang sesuai dengan mood mereka.
Hal ini mendorong pada kesimpulan rendahnya minat orang untuk membeli musik kecuali musik tersebut mempunyai nilai yang sangat-sangat berarti baginya. Artinya penentuan untuk membeli musik harus melewati tahap ‘pengalaman’ dengan mendengarkan lirik lagunya, meresapi makna lagunya hingga sampai kepada merasakan bahwa lagu tersebut menceritakan kisah hidupnya. Menjadikan rantai untuk membeli musik menjadi panjang.
Orang Indonesia bukan berarti nggak doyan mengkonsumsi musik. Ketersediaan konten hiburan masa kini memudahkan orang untuk menikmatinya dimana saja lewat perangkat apa saja yang dimiliki. Mau streaming dari tablet, nonton di televisi lewat jaringan tv kabel, hingga internet radio yang semakin menjamur. Bahkan majalah melakukan bundling CD atau DVD sebagai bagian dari promosi band dan untuk meningkatkan oplah. Situs-situs media online pun melakukan download gratis dengan imbalan berupa data base fans yang ingin mendownload. Akhirnya kembali lagi musik didengarkan sambil lalu. Jadi seperti riset yang terjadi diatas, musik dirasakan sebagai pendamping saja sehingga menjadi tidak punya nilai lagi.
Kolaborasi Brand dan Band
Gue melihatnya untuk mengatasi ini harus dilakukan kolaborasi dengan brand. Perusahaan-perusahaan membutuhkan alat atau media agar brand dan juga produk mereka dapat dikenal dan dibeli oleh konsumen. Band dapat diibaratkan sebagai media yang mempunyai pribadi dan dapat berkomunikasi. Tinggal bagaimana untuk menegosiasikan ‘nilai’ yang ditukarkan agar kepentingan band yang ingin terus melanjutkan karir bermusik dan juga kepentingan brand yang ingin menjual produk dapat sama-sama dapat berjalan.
Silahkan simak tabel pertukaran nilai dari Brand dan Band berikut ini yang gue olah dari paper thenextbigsound.com:
BRAND | BAND |
Daya Jangkau – Akses kepada calon pembeli baru – Fokus kepada target konsumen tertentu – Akses ke dalam sosial media dan database yang dimiliki oleh artis – Lintas budaya pasar – Duta yang dapat diterima umum
|
Daya Jangkau – Akses ke penggemar baru dalam demografi yang beda – Masuk ke pasar global – Akses ke dalam sosial media dan database yang dimiliki oleh brand – Akses ke fanbase artis lain – Meningkatkan awareness rilis album atau single baru – Ekspos pada saat live event – Konten viral – Awareness image |
Kredibilitas – Membuat sebuah platform yang menghidupkan nilai dari brand tersebut – Menguatkan kredibilitas budaya- Menguatkan visual dari reposisi brand – Memberikan pesan yang otentik |
Revenue Tambahan – Revenue langsung dari pembuatan lagu baru – Performing rights dari berbagai regional (dari iklan jika ini termasuk deal global) – Meningkatkan pengaruh pada penjualan album/single fisik |
Reputasi – Brand dapat diasosiasikan dengan kepribadian si artis – Meningkatkan ketertarikan emosional pada produk – Menguatkan keterhubungan budaya dengan brand – Reputasi untuk mendukung karir talent |
Reputasi – Eksposure di media TV dan cetak yang gencar – Menguatkan ekspos PR – Meningkatkan image apalagi jika dikaitkan dengan program CSR – Diasosiasikan secara langsung kepada artis lain yang telah sukses bekerjasama dengan brand itu sebelumnya |
Konten – Konten yang unik dan tidak dapat dimiliki oleh pihak lain – Penanda budaya yang tak lekang waktu – Meningkatkan kreatifitas si artis- Mengingatkan orang akan kekuatan brand |
Konten – Akses ke fasilitas studio rekaman yang lebih baik – Meningkatkan kualitas dari produksi video – Kreasi baru dalam karya – Dukungan terhadap tur dan produksi – Platform yang terdidikasi – Dapat juga mendongkrak penjualan album lama (back catalogue) – Meningkatkan awareness akan tur. |
Musik yang dibiayai oleh iklan bukanlah jargon baru. Apple melakukannya dengan rilisan Song of Innocence milik U2. Samsung melakukannya dengan rilisan Holy Grail milik Jay-Z. Nokia melakukannya dengan membuat layanan Nokia Comes With Music. Bahkan es krim Cornetto melakukan kampanye holistik dengan Taylor Swift yang melibatkan kontrak 18 bulan beserta lisensi musik, image artis hingga dukungan terhadap tur keliling dunia Red Tour.
Model Ad-funded Lewat Streaming Music
Streaming musik membuat model ad-funded ini semakin dapat diterapkan. Fans musik pun senang karena musik yang mereka suka tak lagi memenuhi memori gadgetnya. Apalagi beberapa layanan musik mengemas streamingnya dengan bentuk pengalaman yang unik.Contohnya saja kerjasama brand Adidas dengan layanan streaming musik MixRadio yang menghasilkan musik yang disusun khusus untuk Cardio Training. Sehingga tidak perlu lagi repot untuk menyusun lagu yang pas yang didengarkan saat olah raga dilakukan. Adidas semakin menguatkan posisinya sebagai merk olah raga yang mengerti betul kualitas sebuah latihan yang prima dengan musik. MixRadio juga bekerjasama dengan Coca-Cola menghadirkan playlist dengan tema harian http://www.mixrad.io/id/id/mixes/group/74141888. Nescafe pun memanfaatkan MixRadio untuk menguatkan kembali posisinya dengan tagline ‘Musik Asik’ http://www.mixrad.io/id/id/mixes/group/71338369. Brand-brand ini jadi punya tempat untuk hadir ditengah kehidupan target pasarnya yang kebanyakan pecinta musik.
Fans musik pun dimanja dengan kehadiran musik-musik yang telah disesuaikan dengan personalnya tersebut. Bila mereka ingin pengalaman yang lebih, pecinta musik dapat berlangganan dengan merogoh koceknya demi mendapatkan akses ke pengalaman yang lebih. Bila mereka enggan, mereka tetap bisa menikmatinya dengan adanya brand yang siap untuk ‘membayarkan’ akses ke pengalaman tadi. Tentunya dengan imbalan ekspos pada brand.
Ini merupakan suatu peluang untuk menurunkan pembajakan karena lisensi konten tadi sudah dibayarkan oleh brand. Fans senang kebutuhan musiknya terpenuhi tanpa dituduh membajak. Brand pun mendapatkan nilai tambah yang memperkuat posisinya di pasar. Dan tentunya karir bermusik masih terus dapat berlanjut berkat kekuatan dari ad-funded music!