Dalam bersosialisasi, memiliki ketrampilan untuk membaca kepribadian orang lain bisa memberikan keuntungan apalagi jika diimbangi dengan memahami kepribadian diri sendiri.
Pekan lalu saya belajar memahami kepribadian saya dengan serangkaian pertemuan dan sesi khusus yang membicarakan sifat atau kebiasaan masing-masing. Dalam sesi-sesi ini, keterbukaan sangat diperlukan dan keikhlasan untuk mendengar harus dijunjung tinggi. Apa yang rekan-rekan saya sampaikan adalah cermin dari tingkah polah saya sehari-hari. Meskipun saya coba menyangkal saat itu tetapi setelah dipikir-pikir dan diingat-ingat ternyata memang ada benarnya.
Seperti contoh adalah ketika saya sedang fokus menuntaskan suatu pekerjaan saya tidak mau diganggu. Rekan-rekan saya melihat saya seperti sedang bad mood dan pasti akan mengeluarkan kalimat-kalimat singkat dan tajam. Nggak ada omong-kosong. Buat saya itu sih biasa saja tetapi rekan-rekan saya agak terganggu dengannya. Mereka menyebutnya dengan, “He is on his moody roller-coaster. Leave him alone, he’ll be back!”
Sesi memahami kepribadian ini membantu saya menelaah diri saya. Menjadi mindful atas apa yang saya perbuat. Sehingga menjadi awas atas kata dan perbuatan yang akan saya lakukan ataupun sudah lakukan. Saya juga belajar apakah saya seorang introvert atau extrovert, seorang thinking atau feeling, seorang judging atau perceiving dan juga apakah saya seorang sensing atau intuition.
Rekan-rekan lain juga cukup terbuka akan diri mereka masing-masing. Dengan begini kita jadi sama-sama paham untuk bagaimana menempatkan diri dalam bekerja dalam satu tim. Kita juga jadi paham peran kita dalam suatu kelompok apakah menjadi pemimpin, pemikir ataupun menjadi pekerja.
Setiap orang berbeda-beda dan memiliki kepribadian unik. Kita tidak bisa memaksakan suatu yang mungkin kita anggap benar belum tentu orang lain dapat dengan serta merta menerima hal tersebut sebagai suatu kebenaran juga. Malahan perbedaan inilah yang menjadikan sebuah tim semakin kuat karena satu dan lainnya dapat saling melengkapi.