Seniman musik dan teater Singapura, iNCH, membungkus tema kepedulian lingkungan dan pemanasan global yang terjadi di bumi ini dalam sebuah pertunjukkan menarik. Memfokuskan pada indra pendengaran lewat Auto Sensory Meridian Response (ASMR), iNCH bercerita dan bernyanyi tentang kondisi di Antartika dan pergulatan batinnya sebagai seniman dan juga sebagai manusia.
Drama musikal bertajuk “Til the End of the World, We’ll Meet in No Man’s Land” ini diadakan sebagai bagian pertunjukkan di Artscience Late. Digelar hanya satu malam saja yaitu pada hari Kamis, 17 Oktober 2019 dan berlangsung selama dua kali yaitu pukul 7 dan pukul 9. Saya dapat bagian untuk menonton yang pukul 7 malam. Antrian penonton yang penasaran seperti saya sudah mengular menjelang pukul 7 malam. Kira-kira ada sekitar 100 an penonton yang memadati pertunjukkan terbatas ini.
Sekitar pukul 7.30, pintu teater dibuka dan satu persatu penonton diberikan headset dari BCUBE dan dipersilahkan untuk langsung digunakan. Ruangan teater gelap dan tanpa kursi. Penonton silahkan duduk di lantai. Bagian panggung diterangi lampu neon yang diletakkan artistik. Terdengar lagu gending jawa dari headphone mengiringi pembukaan drama ini.
Tak perlu menunggu lama, kemudian satu persatu penampil muncul di panggung. Tanpa sorak sorai penonton, iNCH beraksi dengan membuat suara-suara dengan perkakas yang dibawanya keatas panggung. Lewat mic binauralnya, rekaman suara-suara perkakas ini menjadi lapisan-lapisan yang berulang dan kemudian menjadi musik buat lagu pertamanya.
Saya bisa merasakan kegelisahan iNCH sebagai seniman atas masalah lingkungan. Lagu per lagu, narasi demi narasi hingga beberapa cuplikan wawancara menjadi babak-babak dalam drama ini. iNCH mengajak kita untuk ingat bahwa kita juga harus bertanggung jawab terhadap masalah lingkungan ini.