Hati-hati Berbisnis RBT Yang Ternyata Emang Ribet

My name is Widi Asmoro.

Postingan lama ini saya munculkan disini pas dengan kondisi sekarang yang mana akibat kebijakan dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) membuat revenue dari ringbacktone menurun di banyak perusahaan rekaman.

Aselinya posting ini dipublikasikan tanggal 18 Apri 2009 di Facebook notes:

 

RBT atau ringbacktone atau nada sambung pribadi kalo istilahnya Telkomsel atau apapun tiap telco punya istilahnya sendiri-sendiri dinilai menjadi dewa penyelamat musik di negeri ini. Dalam rilisan IFPI:Digital Music Report 2007 menyebutkan RBT sebagai media baru yang menjadi amat sangat popular di Indonesia dan memberikan sumbangan signifikan terhadap angka sales industri musik.

Meniru contoh Samson, Ratu, Vagetoz dsb. Mereka disebut-sebut sebagai hit maker dengan modal lagu dengan beat dan lirik catchy yang mudah ditangkap meskipun hanya dalam durasi 30-45 detik. Kesuksesan mereka diikuti dengan lahirnya artis-artis baru yang mencoba peruntungan dengan jualan digital. Ya nggak salah sih ketika tiba-tiba muncul Tukul yang punya jargon “Kembali Ke Laptop” ikut nyemplung ke RBT. Atau Ussy Sulistiawaty yang langsung ngeklik dengan debutnya.

Ditengah menurunnya angka sales dari penjualan album fisik: CD dan Kaset, digital menjadi penyelamat. Meskipun digital itu tidak hanya RBT saja tapi setidaknya sampai saat ini masih RBT lah yang mendominasi sumber pendapatan.

Lantas apakah romansa kebahagian bisnis RBT sedemikian indahnya?

Sekedar berbagi pengalaman saja selama 2 tahun ikutan mengurusi bisnis RBT, proses yang terjadi dibelakangnya tidaklah sederhana. Secara kasat mata memang yang terlihat hanya urusan mencari nomer kode RBT dan promosi. Tetapi dibelakang itu banyak tahap-tahap yang musti dilewati (dan dinikmati juga).

Pertama kali adalah ketika proses rekaman dan mastering sudah selesai dan proses penggandaan album fisik sedang berjalan maka materi lagu-lagu tadi dikirim ke bagian digital business untuk dibuatkan kode RBT nya. Idealnya sih materi lagu yang sampai ke meja digital business adalah sudah dipilih 30-45 detik dari pihak A&R tinggal dibuatkan kode saja. Rupanya tidak demikian. Karena selera orang berbeda dan peniliaian subjektif musik juga berbeda, maka seringkali pihak A&R yang ngelotok banget soal seni musik memilih bagian yang emang bernilai seni tinggi, misalkan pemain gitarnya lagi ngelead di fret 12 atau saat vokalisnya mengeluarkan suara tinggi yang aduhai. Kalau didengarkan secara keseluruhan sih memang, ini keren sekali, tapi RBT didengarkan hanya 30-45 detik saja dan belum lagi bukan di alat stereo nan canggih melainkan saluran mono speaker handphone. Pendek kata, pemilihan potongan 30-45 detik ini tidak sesuai dengan tim marketing yang inginnya bagian reffrain saja yang emang diulang-ulang atau bagian lain yang emang menurut tim marketing sangatlah catchy. Bayangkan waktu yang dihabiskan saja untuk memilih bagian ini. Belum lagi kalo si artisnya yang ikut campur milihin dengan segala egonya.

Tenang, belum berhenti sampai disitu, pemilihan bagian 30-45 detik sudah dilakukan, lalu format file nya apa? Nah ini yang ciamik deh karena tiap telco punya ketentuan dan standar masing-masing. Dan inilah mengapa dari awal gue bilangnya ’30-45 detik’ karena untuk telco Indosat & XL maksimal lagu yang diperbolehkan menjadi RBT sepanjang 30 detik sedangkan untuk telco Telkomsel memperbolehkan sampai maksimal 45 detik. Rata-rata semuanya minimal 25 detik. Untuk formatnya sendiri biasanya pakai WAV, MP3, WMA hingga g726. WAV nya sendiri berbeda-beda, biasanya Telkomsel inginnya format stereo dengan 44,1 Khz dan 16 bit serta bitrate 1411. Bandingkan dengan Indosat yang WAV juga dan minta 44,1 Khz + 16 bit juga tapi formatnya mono dengan bitrate 705. Beda bitrate doank padahal, tapi kesalahan disini bisa berakibat penolakan oleh pihak Telco yang merembet dengan mundurnya dapet kode RBT dan merembet lagi ke mundurnya rencana promosi dan marketing bahkan sampai mundurnya jadwal rilis karena nunggu kode belum dapet maka bagian operasional belum bisa naikin ke percetakan karena ada bagian di sampul album yang masih belum terisi. Ini belum lagi Fren yang minta formatnya g726 dan ESIA (serta Telkomsel) yang minta ditambahkan suara wanita yang menyebutkan nama artis dan judul lagu dalam file terpisah atau biasa disebut sbg IVR (interactive voice recording).

Selesai bagian milih memilih dan pemformatan file. Tahap selanjutnya adalah surat menyurat. Ini kampretnya! Surat menyurat ini sebagai bukti legalitas bahwa si pencipta lagu menyerahkan kuasanya kepada satu pihak untuk mengkomersialisasikan materi digitalnya. Okelah kalau si artis juga pencipta lagu jadi bisa satu album satu surat pencipta. Tapi kalau si artis ternyata cuma bisa nyanyi dan yang nyiptain lagu orang lain, bayangin aja satu album 10 lagu ada 10 surat pernyataan dari pencipta lagunya masing-masing. Tenang, belum sampai disitu kesenangannya. Tiap telco juga punya standar sendiri untuk surat pencipta lagu. Kalau ada 7 telco punya standar masing-masing, artinya akan ada 70 surat pernyataan dari 10 pencipta lagu. Waktu gue masih kerja di SONY BMG sih sudah sempet bernegosiasi dengan pihak legal dari masing-masing telco untuk dibuatkan standar. Meskipun ada satu telco yang super duper egois pinginnya pake format standarnya tanpa diubah-ubah tapi setidaknya bisa disederhanakan menjadi hanya 2 surat pernyataan untuk satu pencipta. 1 surat pernyataan untuk telco yang super duper egois itu dan 1 surat pernyataan untuk telco-telco lainnya yang baik hati mengijinkan pemakaian surat pernyataan bersama. Padahal sih isinya kurang lebih sama-sama juga: memberikan hak untuk komersialisasi digital.

Problematika surat pernyataan gue kira sudah kelar. Ketika mengurus digital untuk ELI rupanya dari label yang mau membantu urusan digitalnya masih pake cara tradisional yaitu satu telco satu surat. Dan hebatnya lagi, si manager digital label ini hanya ngasih form nya dokumen word lewat email tanpa ngasih tau cara ngisinya gimana. Mungkin pikirnya, ah Widi paling dah tau cara ngisinya. Nah kalau artis lain gimana? Rupanya sistemnya sama, lewat email saja. Bagaimana hassle yang terjadi untuk bolak-balik memperbaiki kesalahan pengisian? Meskipun lewat email tapi waktu dan tenaga yang akan habis memikirkan ini saja. Gue jadi kasihan lihat band-band yang sifatnya independen dan ingin mendapat kesempatan berbisnis RBT dengan mengurus sendiri. Sekedar intermezzo saja..

Selesai semua tahap tadi dari pemilihan, pemformatan dan surat menyurat. Berarti sekarang tinggal dikirim donk dan dapetin kodenya? Untuk Indosat dan XL waktu yang diperlukan mendapatkan kode sekitar 1-2 minggu. Untuk Telkomsel bisa 4 minggu. Kuncinya biar cepet dapetin kode adalah dengan selalu follow up proses ke tiap-tiap telco. Jangan kira sudah kirim masalah sudah selesai.

Dapet kode sekarang sudah. Lalu mikirin gimana cara untuk promosi dan mamasarkan kodenya. Memangnya digeletakin gitu aja kodenya lantas orang langsung pake RBT nya? Promosi yang efektif memang menguasai jaringan media Radio lalu Televisi. Lagu sering diputer di dua media itu maka orang akan mencari kode buat RBT nya. Sekarang makin dipermudah untuk televisi dikasih text dilayar bagian bawah untuk cara membeli RBT nya.

Marketing promosi sudah dilakukan. Terus bagian duit-duitnya gimana? Harus hati-hati nih bagian duit. Karena sensitip dan konon sodara sendiri bisa berantem gara-gara duit. Buat artis independen ketika disodorkan perjanjian kerja sama ringbacktone please perhatikan bagian yang diterima, kapan bagian itu akan dibagikan dan lewat cara apa bagian itu didapat. Gue masih melihat kalau RBT dikelola oleh label musik masih fair karena dari pihak Telco pun masih mendahulukan label musik yang memang bisnisnya adalah musik untuk urusan report dan rekonsiliasi. Kalau lewat Content Provider atau CP ini yang agak-agak gimana gitu. Kadang laporan hasil penjualan RBT datengnya lama, berbulan-bulan setelah bulan berjalan, biasanya sih kalau di label musik laporan diterima saat dua bulan setelah bulan berjalan.

Prosentase baginya seperti apa sih? Sebagai ilustrasi, telco biasanya menyerahkan separuh dari nilai penjualan satu RBT ke label. Ya misalkan harga RBT 7ribu berarti separuhnya buat label. Dari separuhnya tadi yang diterma label dibagi-bagi lagi untuk produksi, promosi dan distribusi. Loh kok ada distribusi? Ya ada donk, gimana sih? Setelah itu dibagi-bagi lagi buat artis dan pencipta lagu. Nyampenya ke artis kalau kayak begini jadinya diangka ratusan perak untuk satu RBT nya. Tapi bayangkan jika yang download ada 5ribu download, its about volume game ^_^ /

Bagaimana cara dapetin 5 ribu download? Yah berpromosi lah… syukur-syukur lagunya emang nge-hook dan catchy jadi bisa efek viral. Mumpung nih, tahun-tahun depan masih ada angin buat berbisnis RBT sebelum media ringbacktone dijajah oleh iklan produk lain, bukan musik. Kalau belum dapet bagiannya, yah bersabar dan terus menanyakan kepada label atau CP yang diberikan mandat mengelola bisnis digitalnya. Demanding lah intinya. Jangan cengeng, baru 2 bulan lagunya terkenal terus ngadu ke media karena nggak dapet bagian RBT, prosesnya panjang, bung ๐Ÿ™‚ Kalau emang nggak dikasih-kasih juga setelah berbulan-bulan, ayo mari kita serbu.. ๐Ÿ˜€

5 Comments

  1. Saya dari Tinkerbell Band Jogja. Yang saya ingin tahu, bagaimana prosedur pendaftaran lagunya menjadi RBT. Apakah sy bisa download perjanjiannya?

  2. Saya mau nanya kalo mau daftarin lagu buat RBT gimana caranya ya?
    Thanks before…

  3. Halo… min saya pernah denger RBT yg cuma berapa detik tp bukan musik… misalnya suara cewek ngoceh ” SAYAAANNGG.. ANGKAT DOOONGGG… BLA BLA BLA” kalo yg kayak begini pendaftarannya gimana min?

Comments are closed.