Dengan majunya teknologi saat ini, cloud-locker dan streaming apakah masih perlu kita memiliki musik yang kita suka?
Dalam sebuah diskusi bersama kolega saya dari Singapura, Inggris, dan Finlandia ada satu topik yang menarik yaitu soal kepemilikan musik. Sebagai penjelasan saja, music ownership adalah kepemilikan musik baik itu dalam bentuk file, cover artwork, dan tentu saja rekaman fisik seperti CD dan kaset. Sedangkan music renting adalah kepemilikan terhadap akses ke musik itu tanpa memiliki bentuk-bentuk musik seperti yang sudah disebutkan diatas contohnya streaming radio.
Mengingat apa yang pernah (atau masih) Indonesia alami yaitu euforia penggunaan Ringbacktone, gue yakin Indonesia masih butuh merasa memiliki lagu yang dia beli. Eforia Ringbacktone tidak berlangsung lama dan Ringbacktone lebih ke arah personalisasi, ajang narsis, durasi lagunya yang singkat dan mengingat bagaimana cara ringbacktone ini ditawarkan ke konsumen dengan promo gratis dan auto-renewal, maka teori renting pada ringbacktone ini tidak mengena bagi orang Indonesia umumnya.
Gue melihat orang Indonesia umumnya masih membutuhkan bentuk ‘tangible’ dari sebuah musik. Buktinya meskipun ukuran toko CD dan kaset kian mengecil namun tidak mengurangi minat orang datang dan membeli produk fisik musik. Penetrasi penjualan CD pun kini merambah ke swalayan, restoran hingga pompa bensin. Menurut sebuah sumber, jualan di sebuah resto dapat menghasilkan 40,000 kopi untuk satu judul album. Kepemilikan dalam bentuk digitalpun masih tinggi. Terbukti dengan masih banyaknya kios download baik legal maupun ilegal dan juga dilihan dari lalu-lintas internet di Indonesia yang kebanyakan digunakan untuk bersosialisasi dan juga mendownload musik.
Ini bukan berarti gue nggak setuju dengan konsep music renting di Indonesia. Esia MusicBox dengan bisnis model dengan membayar Rp. 1.000,- per hari dapat mendengarkan 30 lagu apa saja terbukti sukses.
Hanya saja untuk Indonesia masih harus memperbaiki infrastrukturnya. User experience untuk music streaming masihlah belum memuaskan. Buffering time membuat kesal menunggu dan juga tak semua wilayah memiliki jangkauan internet yang bagus. Coba saja http://www.streamsation.com/ atau http://www.melon.co.id/ dan bagaimana komentar kamu?
Mengingat kebanyakan orang Indonesia akses internet lewat ponsel ataupun mobile (baca: tablet), kebutuhan jaringan yang konsisten ini sudah sangat diperlukan. Sayangnya, perang harga antar operator mengakibatkan efisiensi dimana-mana, akhirannya kualitas jaringan menjadi taruhannya.
Untuk menyimpan musik di cloud-locker dan memutarkan kembali pada gadgetnya juga mempunya kendala yang sama. Mungkin masih beberapa tahun mendatang lagi ketika LTE atau 4G dan juga hotspot Wifi mulai merata di Indonesia konsep renting ini bisa diterima. Saat ini, orang lebih rela menunggu file download yang berjam-jam untuk dapat dinikmati secara utuh kapan saja. Lalu menumpuk file tersebut di folder-folder dalam harddisk. Sehingga nantinya bukan tidak mungkin kita mewariskan jutaan MP3 file kepada anak cucu kita.
Tulisan ini masih berlanjut dengan paparan dari Mark Mulligan tentang konsumsi musik masa depan http://widiasmoro.web.id/?p=1628
One Comment
Comments are closed.