Tulisan Ilmiah Tentang Industri Musik di Indonesia (Bagian 1 dari 3)

My name is Widi Asmoro.

tulisan ilmiah tentang industri musik

Seminggu setelah Hari Musik Nasional yang jatuh pada 9 Maret lalu rupanya tidak ada momen yang memorable untuk merayakan hari tersebut. Namun itu tidak menyurutkan ke cinta an gue terhadap musik Indonesia. Kalau gitu nggak ada salahnya kalau gue share tulisan ilmiah mengenai industri musik di Indonesia yang ditilik dari fenomena disintermediasi akibat perkembangan teknologi yang sangat cepat.

Tulisan ilmiah ini adalah karya dari Hersinta, M.Si, pengajar di  The London School of Public Relations, Jakarta. Mengambil narasumber pengamat yaitu Adib Hidayat, pelaku industri yaitu gue dan juga konsumen musik yaitu oleh Xandega dan Valencia.

Saya tidak akan menuliskan semuanya disini, hanya inti-intinya saja, dan saya akan bagi dalam 3 tulisan sampai 2 hari kedepan. Namun jika kamu berminat memiliki tulisan ilmiah ini seutuhnya segera subscribe newsletter dengan memasukkan email di box yang ada di kanan atas halaman ini.

Oke kita mulai bagian pertama:

Pengaruh Disintermediasi Terhadap Faktor Distribusi dalam Industri Rekaman di Indonesia Saat Ini

Di tahun 2010, lembaga riset Synovate melakukan penelitian terhadap kebiasaan menggunakan telepon seluler di kalangan muda Asia, termasuk Indonesia. Hasilnya menyebutkan, kegiatan paling sering dilakukan oleh anak muda (populasi usia 8-24 tahun) saat ini dalam menggunakan telepon genggam selain untuk komunikasi, adalah untuk mendengarkan musik, bermain game dan mengambil gambar (foto).

Hal senada juga dikemukakan oleh Adib Hidayat, Managing Editor majalah Rolling Stone Indonesia, yang bercerita tentang hasil riset Synovate di tahun sebelumnya (2009), bahwa 55% pendengar musik di Asia menikmati musik melalui TV. Di peringkat kedua adalah melalui smart phone, sebagai perangkat yang dapat berfungsi untuk MP3 player. Ketiga, melalui real MP3 player, seperti iPod, menyusul radio.

“CD dan kaset menduduki peringkat terakhir, hanya sekitar 4%. Dan mungkin saat ini malah semakin menurun, karena penjualan CD dan kaset sudah semakin jatuh,”  ungkapnya.

Menurut Adib, saat ini distribusi dan konsumsi musik di Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar. Salah satunya ditandai dengan banyak tutupnya toko-toko musik yang menjual CD dan kaset, tidak hanya di Jakarta, juga di daerah-daerah. Dan yang saat ini banyak bisa ditemui adalah layanan pengunduhan MP3 untuk telepon seluler. Bisnis ini sangat diminati karena saat ini masyarakat sudah beralih mendengarkan musik melalui perangkat telepon genggam. Layanan ini pun sangat murah, misalnya dengan Rp. 10.000 pembeli dapat memperoleh ratusan, bahkan mungkin ribuan lagu berformat MP3 yang diunduh ke ponselnya. Masalahnya, lagu-lagu ini merupakan kategori lagu ilegal, karena diedarkan tanpa membayar royalti pada si musisi maupun perusahaan rekaman yang memegang hak cipta lagu tersebut.

Adib menambahkan, bahwa di Indonesia, saat ini penjualan album secara fisik dalam hanya berfungsi sebagai etalase atau pajangan saja. Angka penjualan dalam setahun hanya mencapai ribuan. Hal ini merosot jauh dibandingkan 3-4 tahun sebelumnya. Sebagai contoh, tahun 2006, album “Meteora” dari Linkin Park masih bisa terjual 1,5 juta kopi, sementara album lainnya seperti dari grup band Muse masih dapat terjual 30.000 kopi. Hal ini juga disetujui oleh Rahayu Kertawiguna, Managing Director perusahaan rekaman Nagaswara. Dari hasil wawancara dengan majalah Rolling Stone Indonesia (2009), ia berpendapat bahwa pada akhirnya album rekaman dalam format fisik hanya berlaku sebagai aksesori atau pajangan saja, karena menjual album di toko musik saat ini sudah sangat sulit. Diakuinya, kalau dulu mereka bisa mengirim album sebanyak 50,000 keping untuk dijual di toko, saat ini jumlahnya menurun drastis hingga 2,000 atau 3,000 keping.

Salah satu strategi yang dilakukan label dalam menghadapi pembajakan dan penurunan penjualan adalah dengan meluncurkan single (lagu), sebagai alternatif selain rilisan dalam bentuk album. Strategi ini diakui lebih menguntungkan oleh perusahaan rekaman, dibanding jika mereka merilis satu album yang kemudian dibajak dengan cepat (Rolling Stone Indonesia, Maret 2009).

Menurut Adib, rata-rata label lebih senang merilis single karena usaha, waktu dan modal yang dikeluarkan lebih minim. Ketika single tersebut populer, lantas dapat dijual menjadi RBT. Lebih jauh menurut Adib, saat single tersebut sudah berusia 3-4 bulan, selanjutnya dapat disertakan dalam album kompilasi. Itu adalah salah satu keuntungan dalam merilis single. Dari beberapa label besar di Indonesia, hanya Musica yang masih sering merilis album, seperti album dari band Gigi dan DMasiv.

Akibatnya, jika saat ini konsumen mengunjungi toko musik, yang banyak dipajang adalah album indie (dari label/band independen). Jadi di satu sisi, hal ini menguntungkan bagi label indie, karena kompetisi semakin rendah.

Selain itu, fenomena disintermediasi membuat posisi label tidak lagi menjadi intermediator satu-satunya dalam mempublikasikan musisi. Perusahaan di luar label musik dapat berfungsi serupa.

Menurut Adib, saat ini grup media TV seperti MNC sudah memiliki bagian yang berfungsi sebagai manajemen artis. Dampak negatifnya adalah, jika kelak media lain memiliki manajemen artis sendiri, dapat terjadi monopoli dalam bentuk kontrak eksklusif dengan media/TV yang bersangkutan. Dan selanjutnya tidak tertutup kemungkinan mereka akan membuat label sendiri. Lebih jauh Adib mengungkapkan, bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh kelompok Gramedia. Majalah HAI pernah membuat label sendiri, dan mengorbitkan artisnya dari bawah. Kalau terjadi demikian dengan stasiun TV, maka industrinya akan kacau, karena ada peran dan kepentingan yang saling tumpang tindih. Ia memberi contoh, “Misalnya, ada artis baru yang diorbitkan TV A, dia hanya boleh tampil eksklusif di TV tersebut. Bisa jadi, nantinya akan ada top chart versi masing-masing TV misalnya.” Karena itu, untuk menghindari kemungkinan implikasi yang merujuk pada persaingan monopolistik seperti itu, perlu dipertimbangkan adanya regulasi yang mengatur hal tersebut.

Berkembangnya Industri Penjualan Ring Back Tone (RBT)

Setelah berkembang teknologi digital yang mulai marak di Indonesia di tahun 2007-2008, bisa disimpulkan bahwa penjualan album mulai menurun drastis. Hal ini juga ditandai oleh naiknya penjualan musik melalui Ring Back Tone (RBT) sebagai pengganti penjualan album serta ‘hilangnya’ pemutaran video klip musik asing di televisi, yang awalnya berfungsi sebagai media promosi untuk menjual album.

Di Indonesia, selain menghadapi masalah pengunduhan dan penyebaran lagu ilegal di internet, industri musik juga menghadapi masalah yang selama bertahun-tahun sebelumnya telah ada, yaitu pembajakan album rekaman. Karena ancaman pembajakan yang tidak kunjung selesai, ditambah lagi dengan hambatan baru yaitu pengunduhan lagu secara ilegal melalui file sharing dan situs jejaring sosial, label-label rekaman ini akhirnya memilih untuk berkonsentrasi di bisnis penjualan Ring Back Tone (RBT). Penjualan RBT mendatangkan keuntungan yang cukup besar bagi label rekaman.

Nagaswara sebagai salah satu label rekaman yang sedang naik daun di Indonesia, mencatat pendapatan Rp.20 miliar pada tahun 2009, 90 persennya berasal dari pemasukan RBT (Rolling Stone Indonesia, Maret 2010).

Strategi penjualan RBT ini tampaknya paling banyak dikenal di industri musik di Indonesia, karena di negara-negara lain lebih menekankan pada penjualan musik digital, penjualan album lewat retail raksasa serta pertunjukan musik (tur). Trend ini mulai muncul sekitar tahun 2004 di Indonesia (Rolling Stone Indonesia, Maret 2010). Saat ini, beragam penyedia jasa layanan seluler seperti NSP (Telkomsel), I-Ring (Indosat) dan sebagainya menawarkan layanan nada dering ini dengan harga bervariasi, sekitar Rp.7000-9000, untuk nada tunggu berupa potongan lagu selama 30 detik yang akan terdengar di telinga orang yang menelepon si pengguna.

Adib mengungkapkan, umumnya pembagian keuntungan yang diperoleh dari penjualan RBT dibagi 50-50 antara perusahaan telekomunikasi (operator) dan label. Oleh label, bagian 50 persen tersebut harus dibagi lagi dengan musisi atau arranger. Ketika operator berhubungan langsung dengan musisi, mereka bisa menawarkan pembagian lebih besar tanpa harus dipotong oleh label. Informasi terbaru menurut Adib adalah, operator sudah mulai melihat peluang ini, dimulai dengan Telkomsel yang baru-baru ini sudah mulai melakukan negosiasi dengan seorang penyanyi yang sedang naik daun, Afgan. Artinya, peran intermediasi yang awalnya dijalankan oleh label, saat ini sudah semakin tergeser.

Apa yang diungkapkan Widi Asmoro juga tidak jauh berbeda. Ia berujar, saat ini banyak label baru bermunculan, berlatar belakang perusahaan non-musik, didirikan salah satunya untuk memperoleh keuntungan dari RBT. Bahkan, ada label seperti Falcon Music yang khusus berjualan musik digital berupa RBT dan ringtone (nada dering). Salah satu artis yang diorbitkan oleh Falcon adalah almarhum Mbah Surip dengan “Tak Gendong”-nya yang sempat sangat populer di Indonesia. Contoh lain menurut Widi adalah Energy Music Entertainment, yang dimiliki oleh perusahaan sandal Ardiles. Salah satu artisnya, grup band  Taxi, membintangi iklan produk sandal tersebut bersama artis Cinta Laura.

Namun, perkembangan terakhir di bulan Oktober 2011 mengindikasikan bahwa bisnis RBT menghadapi ancaman penurunan penjualan, karena timbul wacana dari Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk menertibkan layanan penjualan RBT akibat kasus pencurian pulsa dari layanan SMS premium. Jika regulasi tersebut akhirnya jadi diimplementasikan, terdapat kekhawatiran yang besar dari para pelaku industri musik, apabila nantinya terdapat masalah dalam pelaksanaannya, sehingga akan menyulitkan pihak konsumen maupun distributor dan produser konten.

Inovasi dalam Distribusi dan Penjualan Musik Digital di Indonesia

Sementara itu, menurut Widi Asmoro dari Nokia Music Store, perkembangan teknologi digital melahirkan ceruk bisnis baru, di mana musisi dapat “going digital”, menembus pasar global dengan memanfaatkan jalur distribusi digital. Ia mencontohkan, beberapa musisi lokal yang berdomisili di Bali sudah ada yang memanfaatkan aggregator musik digital (perusahaan yang bergerak di bidang distribusi musik secara digital) seperti Tunecore untuk memasarkan lagu-lagu mereka di pasar global.

Widi lebih melihat dampak disintermediasi ini sebagai hal yang positif. Artinya, fenomena ini mendorong label dan musisi untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mencari solusi untuk dapat mendistribusikan karya mereka. Pria yang pernah bekerja sebagai Assistant Manager Digital Business & Web di Sony BMG Music Indonesia ini mencontohkan, Sony Music Indonesia misalnya, mencoba memperluas pasar mereka ke HongKong. Sadar dengan adanya target pasar musik Indonesia di sana, yaitu para TKW dan TKI yang bekerja di HongKong, Sony Music Indonesia bekerjasama dengan Sony Music HongKong untuk mendistribusikan lagu-lagu dalam format ringtone untuk dipasang di telepon seluler.

Sejak tahun 2006, beberapa perusahaan rekaman memiliki divisi untuk business development and new media, yang didirikan untuk keperluan pengembangan musik digital. Salah satu tugas dari divisi ini, menurut Widi, adalah untuk mencari partner kerjasama. Misalnya, menggandengkan artis dengan brand tertentu, menjadi brand ambassador untuk produk tertentu, seperti contoh kasus penyanyi Sherina dengan Simpati Telkomsel, atau Saykoji yang populer dengan lagu “Online”-nya dengan IM3 Indosat.

Dampak Disintermediasi dalam Industri Musik Terhadap Konsumen

Sementara dari sisi konsumen atau pengguna musik, dampak dari disintermediasi terhadap industri musik lebih banyak dirasakan positif bagi mereka. Xandega, salah satu narasumber yang diwawancara dalam penelitian ini, menyebutkan bahwa dampak positif yang dirasakan adalah kemudahan untuk mengakses dan memperoleh produk-produk musik baru, termasuk mencoba dan menyeleksi lagu.

Diakuinya bahwa pengunduhan lagu lewat internet banyak dilakukannya sebagai trial atau sampler. Jika merasa suka dengan lagu tersebut, maka ia akan memutuskan untuk membelinya secara fisik (CD atau vinyl/piringan hitam). Banyak situs maupun blog saat ini menyediakan layanan pengunduhan lagu sebagai sampler atau contoh. Misalnya dengan memasang satu atau dua lagu sebagai contoh yang dapat diunduh dan didengarkan oleh konsumen.

Salah satunya adalah www.hypem.com, situs aggregator yang berfungsi seperti search engine untuk mencari blog dan situs yang menyediakan layanan pengunduhan MP3 gratis. Senada dengan Xandega, Valencia juga merasakan segi positif bagi konsumen, juga untuk trial product, jika ia suka dengan lagunya maka ia akan mencari CD dari musisi tersebut.

Bisa disimpulkan bahwa kini ada unsur selektif yang lebih ketat dari pihak konsumen untuk menentukan apakah mereka akan membeli lagu tersebut secara legal atau tidak. Selektifitas ini ternyata tidak terbatas hanya pada kontennya, tapi juga siapa si musisi tersebut.

Menurut Xandega, beberapa temannya membuat keputusan untuk membeli CD berdasarkan penilaian dari latar belakang artis tersebut. Kalau si artis berasal dari latar belakang lokal atau kelas “indie” (independen), maupun masih belum terlalu populer namanya, mereka akan lebih “rela” untuk membeli CD-nya. Sementara artis yang sudah sangat populer, dinilai mereka sudah terlalu komersial, sehingga mereka lebih memilih untuk mengunduh lagunya secara gratis.

Selain itu, dampak negatif yang mereka rasakan adalah menurunnya kualitas musik, karena jalan untuk masuk ke industri musik saat ini sudah begitu mudah, terutama dengan adanya fenomena disintermediasi ini. Musisi tidak harus melewati seleksi yang ketat lewat label, siapa saja bisa menaruh lagu-lagunya di internet. Akibatnya, fenomena seperti lagu “Keong Racun” yang dipopulerkan oleh dua mahasiswi asal Bandung dengan cepat populer dan dikonsumsi oleh masyarakat.

Dampak negatif lainnya adalah menurunnya apresiasi konsumen terhadap format album. Menurut Xandega, karena teknologi digital memudahkan pengguna untuk mengunduh per lagu, akibatnya mereka jadi malas untuk mendengarkan seluruh lagu dalam album dan hanya mengonsumsi lagu yang mereka sukai saja.

Tulisan berikutnya akan ditayangkan besok Sabtu 17 Maret dan akan mengupas solusi dalam menghadapi fenomena ini. Stay tuned yah ciyn!

7 Comments

  1. Ulasan menarik. Tapi, satu hal saya kurang sependapat, bahwa hilangnya fungsi intermediasi label menyebabkan turunnya kualitas musik. Menurut saya, justru corak musik yg ditawarkan label secara monopolistik, banyak menuai kritik. Dianggap ‘kacangan’ dan tidak mewakili kualitas musik Indonesia secara umum. Artinya, label justru dianggap telah mengebiri perkembangan selera mainstream. Nah, di era digital ini makin banyak jalan bagi seorang artis (indiependent) untuk meraih populeritas. Yang berkualitas akan berhasil menghadapi mekanisme seleksi alam. Dan masyarakat diuntungkan karena punya banyak pilihan, tidak hanya dicekoki lagu2 yg kurang bermutu, seperti halnya masalah tayangan sinetron kita. .

    1. Yup! Kata kuncinya ada di ‘seleksi alam’. Disintermediasi membuat seleksi alam semakin keras. 🙂

      Thanks buat sumbang pendapatnya oom…

  2. bahasan yg ok widd..
    hehehe.. wid lo kerja di nokia yah ? jdi apanya wid?

    thx

    AAN / Andre 
    911 Music /kapanlagi.comMenara Anugrah Lt.
    3Jl. Mega
    Kuningan Lot 8.6 – 8.7Jakarta Selatan 12950Telp. 021 – 57930455.Fax 021 – 57942015HP 0878 8511 3297.E : aekaputra@rocking911.com Cc:aekaputra@yahoo.com  YM : aekaputra
    PIN : 20fe18f9
     

  3. “hanya Musica yang masih sering merilis album, seperti album dari band Gigi dan DMasiv”. koreksi GIGI bkn punya Musiac

Comments are closed.