Mari kita lanjut ke bagian kedua yang akan mengupas apa saja solusi yang mungkin bisa diterapkan dan menghasilkan keuntungan, tentu saja. Siapkan popcorn dan minuman ringan, jangan terlalu serius, biarkan ide-ide ini masuk ke alam pikiran anda untuk menginspirasi.
Dan gue nggak bosan ngingetin, jika kamu berminat memiliki tulisan ilmiah ini seutuhnya segera subscribe newsletter dengan memasukkan email di box yang ada di kanan atas halaman ini.
Solusi dalam Menghadapi Fenomena Disintermediasi pada Industri Musik Indonesia
Dalam menghadapi dampak disintermediasi berupa penurunan keuntungan, yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi digital, para pelaku industri musik mau tidak mau harus mencari alternatif cara dalam berbisnis dan mendistribusikan produknya.
Menurut para analis industri musik, saat ini ada 3 (tiga) sumber pendapatan utama yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku industri musik:
(1) ritel (retail); yang merupakan outlet tradisional untuk berjualan album rekaman, awalnya berbentuk toko musik, kini telah bergeser menjadi penjualan lewat peritel raksasa seperti hypermart,
(2) downloading atau pengunduhan; merupakan format baru penjualan lagu lewat situs internet seperti iTunes Music Store,
serta (3) touring atau pertunjukan tur; merupakan pemasukan yang cukup besar bagi para musisi dari penjualan tiket masuk (Vivian, 2008:113).
Distribusi Album Fisik Melalui Ritel
Untuk cara yang pertama, di Indonesia tercatat ada beberapa musisi maupun label yang saat ini menempuh cara tersebut. Band GIGI, misalnya, untuk menyiasati jalur distribusi konvensional yang semakin mengecil karena banyaknya toko-toko musik yang saat ini sudah tutup, mencoba mendistribusikan album religi terbaru mereka melalui jaringan ritel hypermart Carrefour. Pada September 2010 lalu, penggemar kelompok musik ini dapat memperoleh album religi GIGI yang berjudul “Amnesia” di sekitar 82 jaringan ritel Carrefour di seluruh Indonesia (http://cekricek.co.id/gigi-jalur-distribusi-baru-fans-baru/).
Ini sebetulnya bukan cara baru, karena di negara lain seperti Amerika, hal ini sudah lumrah dilakukan. Band rock AC/DC pernah melakukan hal serupa, dengan mendistribusikan album mereka melalui jaringan ritel ternama Wal Mart di AS. Namun di Indonesia, hal ini memang terbilang baru. Salah satu keuntungan dengan menggunakan jalur distribusi melalui peritel besar adalah memperluas pasar. Selain dapat melakukan rangkaian kegiatan promosi album yang diadakan di 15 gerai Carrefour di seluruh Indonesia, GIGI juga dapat memperluas taget pasarnya, yang awalnya lebih banyak ke remaja dan mahasiswa, ternyata kini cukup banyak kelompok ibu-ibu yang tertarik untuk membeli album mereka (http://cekricek.co.id/gigi-jalur-distribusi-baru-fans-baru/).
Menurut Adib Hidayat, cara ini belum terlihat efektifitasnya. Selain karena belum ada data penjualan resmi yang menyebutkan berapa jumlah album yang terjual, menurut Adib, hal ini juga tergantung dari konten yang dijual. Dalam kasus GIGI misalnya, karena usia album religi pendek (hanya 1 bulan, dari bulan puasa hingga lebaran), hasilnya mungkin tidak terlalu signifikan. Belum lagi faktor kompetitor dari band/musisi yang meluncurkan lagu/album yang bertema serupa. Namun cara ini diakuinya bisa menjadi salah satu alternatif dalam distribusi musik.
Alternatif cara yang juga ditempuh adalah dengan menggandeng peritel lain seperti yang dilakukan oleh jaringan waralaba restoran makanan cepat saji Kentucky Fried Chicken (KFC). KFC bekerjasama dengan Music Factory Indonesia. KFC dan MFI bekerjasama dalam memproduksi, memasarkan serta mendistribusikan album kompilasi yang berisi musisi-musisi pendatang baru. Video-video klip dari para musisi tersebut diputar di seluruh outlet KFC, kemudian mereka juga menawarkan CD sebagai bagian dari penjualan paket makanan, serta penawaran keanggotaan dan memperoleh album-album secara rutin untuk jangka waktu selama setahun. Di tahun 2008, dalam waktu tiga bulan, duet MFI-KFC berhasil menjual album kompilasi produknya sebanyak 100.000 kopi hanya dalam waktu tiga bulan. Padahal, artis-artis yang digandeng MFI merupakan pendatang baru yang belum terkenal, walaupun memiliki potensi (http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/185262/)
Akibatnya, saat ini banyak label yang tertarik untuk bekerjasama dengan KFC untuk mempromosikan serta mendistribusikan musisi mereka. Seperti label Aquarius yang bekerjasama dengan KFC untuk mempromosikan dan menjual album terbaru Agnes Monica. Menurut Adib dari hasil diskusinya dengan salah satu petinggi label tersebut, sistem yang dilakukan adalah pembagian keuntungan (sharing) antara label dan ritel. Ia menambahkan, bahwa cara tersebut dapat menjadi contoh untuk melakukan distribusi dengan inovasi baru, misalnya bekerjasama dengan peritel dan menawarkan paket bundling yang atraktif untuk konsumen.
Sebagai contoh, musisi/label dapat bekerjasama dengan jaringan mini mart Circle K, dengan penawaran paket untuk konsumen. Jika mereka membeli rokok atau minuman dalam harga tertentu, konsumen akan memperoleh bonus album. Di satu sisi, keuntungan yang diperoleh oleh musisi/label adalah kemudahan distribusi, karena ritel ini memiliki jaringan hingga ke pelosok-pelosok daerah.
Distribusi Musik Digital Lewat Media Internet
Cara kedua adalah dengan distribusi musik digital, penjualan lagu lewat situs internet seperti iTunes Music Store di AS, di mana konsumen dapat membeli lagu digital secara resmi untuk kemudian diunduh. Upaya untuk menjual musik secara digital ini juga dikenal di Indonesia, seperti penjualan musik digital lewat situs/toko virtual maupun toko fisik yang dipelopori oleh Equinox, iM:Port yang digagas oleh musisi Anang Hermansyah, serta Digital Beat Store yang ada di bioskop Blitz Megaplex.
Namun beberapa dari layanan penjualan musik digital ini tidak bertahan lama (DB Store saat ini sudah tutup), karena konsumen lebih tertarik untuk mendapatkan album murah di lapak bajakan, atau memanfaatkan bandwidth internet dengan mengunduh musik secara gratis di rumah serta kantor (Rolling Stone Indonesia, Maret 2010).
Namun, hal ini tidak menghalangi investor baru untuk menjalankan peran sebagai distributor atau intermediasi dalam industri musik lewat layanan penjualan musik digital. Di awal tahun 2010, Telkomsel meluncurkan portal www.langitmusik.com, di mana pengguna dapat mengunduh lagu dalam versi penuh (full track download) dengan membayar Rp.5000 per lagu maupun Rp.3000 jika pengguna ingin menyewa lagu tersebut selama 30 hari. Pembayaran dapat dipotong dari pulsa, atau menggunakan layanan mobile wallet T-Cash. LangitMusik saat ini telah memiliki katalog lagu lebih dari 10.000, yang berasal dari Indonesia dan dapat diunduh oleh pelanggan Telkomsel. Yang terbaru adalah layanan unduh lagu gratis Nokia Music (diluncurkan 27 Maret 2010) dan layanan musik digital berbayar Melon (November 2010), yang diluncurkan oleh PT Telkom Indonesia bekerja sama dengan SK Telecom dari Korea.
Di Nokia Ovi Music, para pemilik ponsel Nokia tipe tertentu dapat mengunduh lagu secara legal dan gratis selama 6 bulan. Saat ini di Indonesia terdapat beberapa layanan resmi penjualan/pengunduhan musik digital di Indonesia, seperti yang tercantum dalam tabel berikut:
Tabel 1
Layanan Resmi Penjualan/Pengunduhan Musik Digital (Full Track Download) di Indonesia
Nama Alamat Situs Pemilik LangitMusik www.langitmusik.com PT Telkomsel KapanLagi musicstore.kapanlagi.com KapanLagi K-Music music-kongkoow.com Indosat Mega Media (IM2) FullTrek www.fulltrek.com PT Telkom PlayMusic www.playmusic.co.id Play On Interactive IM:port Musik www.importmusik.com IM:port Musik Arena Musik Indosat arenamusik.indosat.com PT Indosat Melon www.melon.co.id Telkom & SK Telecom Korea Nokia Music Store music.nokia.com/id Nokia Kantong Musik www.kantongmusik.com Jatis Mobile
Sumber: Rolling Stone Indonesia, Maret 2010; Hasil Wawancara dengan Narasumber, 2011
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari 10 layanan penjualan musik digital, 5 diantaranya dimiliki oleh perusahaan telekomunikasi. Hal ini diakui oleh pebisnis lain, bahwa perusahaan di luar telekomunikasi yang berbisnis musik digital pada akhirnya mengalami kendala, terutama dari segi koneksi internet yang lamban serta keterbatasan bandwidth untuk mengunduh lagu.
Kendala terbesar dalam penjualan musik digital melalui internet adalah masalah mekanisme pembayaran. Indonesia menduduki peringkat nomor dua untuk angka pencurian kartu kredit terbesar di dunia, menurut data dari ClearCommerce Corporation, perusahaan asal Texas, AS yang bergerak di bidang payment processing dan penyedia software keamanan (http://diogenesllc.com/internetfraudandtracking.pdf, 2002). Hal ini membuat transaksi online dengan kartu kredit menjadi kurang populer karena masyarakat takut dengan resiko keamanannya.
Mereka lebih memilih sistem pembayaran COD (Cash on Delivery) atau transfer melalui rekening. Bagi perusahaan telekomunikasi seperti Indosat atau Telkomsel, mereka dapat memberlakukan metode pembayaran yang lebih praktis dengan pemotongan pulsa. Sementara penyedia lain seperti IM:port menyediakan pembayaran dengan menyediakan voucher sebagai alat transaksi. Namun, cara ini dirasa kurang efektif.
Widi Asmoro juga menyetujui hal ini, bahwa metode pembayaran (payment gateway), masih jadi hambatan. Apakah mau menggunakan voucher (bayar di depan) atau sistem potong pulsa. Lebih lanjut, menurut Widi, sistem potong pulsa pun masih menyisakan masalah. Karena perusahaan telekomunikasi meminta bagian cukup besar, yaitu 50%. Sementara, perusahaan yang punya sistem juga menuntut bagian besar, karena mereka memiliki investasi yang cukup besar. Akhirnya, salah satu dampak yang terjadi adalah, perusahaan telekomunikasi (operator) mengakuisisi perusahaan sistem tersebut. Seperti yang terjadi pada Melon di Indonesia, yang dimiliki oleh Telkom bekerjasama dengan perusahaan telekomunikasi asal Korea.
Ancaman lain yang masih menghambat usaha penjualan musik digital adalah masalah pembajakan digital. Situs-situs yang menyediakan pengunduhan MP3 ilegal serta portal berbagi file (file sharing), P2P (Peer-to-Peer) seperti Limewire, BitTorrent, 4Shared dan lain sebagainya menjadi kendala bagi para pebisnis untuk mengembangkan layanan musik digital berbayar. Belum lagi paradigma pengguna internet atau konsumen musik di Indonesia, yang menganggap bahwa apa yang terdapat di internet adalah bebas dan gratis, termasuk kontennya (Rolling Stone Indonesia, Maret 2010). Untuk hal ini, kemudahan dan kecepatan proses dalam penggunaan teknologi digital menyebabkan konsumen merasa “tidak bersalah” saat mereka mengunduh konten secara ilegal. Dan Langlitz, mahasiswa Pennsylvania State University yang juga merupakan pengguna internet, mencoba mengungkapkan mengapa pembajakan atau pengunduhan illegal sangat tinggi di internet: “It’s not something you feel guilty doing. You don’t get the feeling it is illegal because it’s so easy.” (Biagi, 2005:89).
Salah satu solusi yang dapat menghentikan pengunduhan musik ilegal melalui file sharing, P2P maupun situs adalah dengan meminta dukungan pemerintah seperti Departemen Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta pihak berwajib untuk menindak. Menurut Adib, ini adalah langkah yang “ekstrim”, meskipun bisa saja dilakukan untuk memberi efek jera kepada para pengunduh ilegal. Misalnya dengan menutup blog-blog atau situs yang menawarkan layanan unduhan ilegal secara bertahap, untuk pembelajaran, didukung oleh perusahaan operator dan label untuk kampanyenya.
Namun masalahnya, ungkap Adib, ini akan menimbulkan protes massal dari publik, yang beranggapan bahwa era teknologi digital ini adalah era kebebasan, di mana semua orang bisa memanfaatkan internet sebebas-bebasnya. Ketika baru-baru ini Adib melakukan pertemuan dengan staf depkominfo dan beberapa pelaku industri musik digital, usul untuk menutup akses file sharing dan P2P tersebut pun ditolak oleh mereka, karena “jika ditutup, para pengusaha warnet pasti akan menjerit”. Hal ini juga tampak dari riset yang dilakukan oleh Yahoo SouthEast Asia (2009) terhadap pengguna internet di Indonesia. Hasilnya, 8 dari 10 pengguna internet di Indonesia mengakses internet dari warnet. Dan beberapa kegiatan yang paling sering dilakukan adalah bermain games online serta mengunduh musik.
Kesimpulannya, ternyata tidak semudah itu untuk melarang pengunduhan ilegal. Karena, di belakangnya ada banyak kepentingan terkait dan menyangkut mata pencaharian banyak orang, seperti pengusaha warnet dan pekerja yang terkait di dalamnya.
Model Swa-distribusi (self-distribution) dan Pertunjukan Tur (Touring)
Cara lain yang juga dapat ditempuh oleh para pelaku industri musik adalah dengan menerapkan model self-distribution atau swadistribusi. David Byrne, musisi dari grup musik Talking Heads yang juga berprofesi sebagai produser musik, menjelaskan bahwa bisnis industri musik rekaman saat ini tidak hanya sekedar memproduksi musik. Awalnya, bisnis musik memang lebih merujuk pada penjualan CD, namun saat ini penjualan fisik sudah mulai tidak populer, tapi tidak berarti musisi akan kehilangan mata pencahariannya, karena mereka dapat menempuh cara lain (Baran, 2010:196).
Model swadistribusi sebetulnya mendatangkan keuntungan tersendiri bagi musisi, karena kebebasan penuh ada di tangan mereka. Musisi bebas memainkan, memproduksi, memasarkan, mempromosikan hingga mendistribusikan musik mereka. Byrne menyebut ini sebagai “kebebasan tanpa membutuhkan sumberdaya”. Saat ini, banyak musisi, baik yang sudah terkenal maupun yang sedang merintis kepopuleran, menempuh cara ini, dibantu dengan media internet. Mereka menggunakan situs dan blog pribadi, situs jejaring sosial seperti MySpace dan Facebook, videosharing seperti YouTube serta microblogging seperti Twitter, untuk berhubungan langsung dengan para penggemar. Para penggemar ini dapat menikmati dan mengunduh lagu baru si musisi secara gratis; membeli lagu, CD serta merchandise (barang-barang atau cenderamata seperti kaus, topi dan lain sebagainya yang ber-label band tersebut), memperoleh informasi konser dan melakukan pemesanan tiket; bahkan mengobrol (chat) langsung dengan artis kesayangan mereka atau dengan sesama penggemar lainnya.
Model swadistribusi maupun swapromosi sebetulnya memang bukan hal baru, karena umumnya musisi independen label (indie label) melakukan cara ini untuk memperkenalkan karya-karya mereka. Keterbatasan dana membuat para musisi indie ini harus kreatif dalam memanfaatkan media yang ada dengan biaya seminim mungkin, salah satunya dengan menggunakan media jejaring sosial internet. Salah satu contoh kasus adalah band White Shoes and The Couples Company (WSATCC), yang berdomisili di Jakarta. Mereka cukup aktif dalam memanfaatkan akun jejaring sosial MySpace untuk keperluan promosi dan komunikasi album serta band mereka. Pada tahun 2006, mereka dinobatkan sebagai salah satu dari 25 Best Band on Myspace yang diselenggarakan oleh majalah musik Rolling Stone di AS (www.rollingstone.com). WSATCC mendapat kontrak dengan label rekaman Amerika Serikat, Minty Fresh Record, serta memperoleh kesempatan bermain di festival musik tahunan terkemuka, South by Southwest (Maret 2008), salah satunya karena promosi lewat situs jejaring sosial MySpace melalui www.myspace.com/whiteshoesandthecouplescompany (Nurhani, 2010).
Hal yang tidak jauh berbeda dialami oleh Everybody Loves Irene (E.L.I), band trip hop asal Jakarta, yang pada tahun 2007 lalu diundang tur ke Singapura dan Malaysia berkat Myspace, untuk kemudian mereka mendapat kontrak dengan Kittywu Records, sebuah label rekaman asal Singapura. Jumlah pengunduhan lagu E.L.I melalui iTunes sangat tinggi, diikuti oleh distribusi album pertama mereka yang juga tidak kalah besar karena efek dari akun Myspace mereka, www.myspace.com/everybodylovesirene (Nurhani, 2010)
Menurut Widi, yang juga menjabat sebagai publisher untuk band ini, dari segi penjualan fisik, E.L.I juga cukup menggembirakan. Mereka bekerjasama menjual CD dengan label rekaman indie D’Majors, mencetak 1000 keping CD yang saat ini sudah terjual habis dan ke depannya akan mencetak ulang lagi.
Saat ini, tidak hanya band indie, tapi band-band besar dan populer pun akhirnya banyak yang beralih menempuh cara swadistribusi ini. Salah satu kasus menarik adalah yang dilakukan oleh grup band Radiohead, asal Inggris. Di tahun 2007, band rock terkenal ini menghentikan kontrak mereka dengan salah satu label terbesar, EMI. Mereka menolak kontrak ratusan juta dolar dari EMI, dan sebagai gantinya, menempuh cara swadistribusi melalui internet. Ketika mereka merilis album “In Rainbows” di tahun 2007, Radiohead membebaskan para penggemarnya untuk membayar berapa pun sesuai keinginan mereka, untuk mengunduh album tersebut. “It’s up to you,” tulis band tersebut di situs mereka (Baran, 2010:197). Dengan cara ini, mereka bermaksud untuk mendekatkan diri pada penggemar, dengan memanfaatkan karakteristik media internet, terutama kecepatan dan interaktifitasnya. Menurut Byrne, ini bukanlah usaha yang sia-sia, karena pada akhirnya, penggemar malah menghargai apa yang telah dilakukan oleh musisi idola mereka. Hasilnya, di bulan pertama album tersebut diluncurkan secara online, lebih dari sejuta penggemar mengunduhnya. Sebanyak 60 persen memilih untuk mengunduh secara gratis, namun 40 persen sisanya membayar lebih besar dibanding harga jika CD tersebut dijual di toko (Baran, 2010:197). Dalam 30 hari pertama, Radiohead memperoleh penghasilan bersih sebesar US$ 3 juta, dan untuk pertama kalinya mereka memperoleh kepemilikan atas hak cipta dan master dari karya mereka sepenuhnya, tanpa campur tangan label.
Belakangan, model swadistribusi ini juga ditiru oleh band-band lain yang cukup populer di dunia, seperti Coldplay dan Metallica. Meski, hal ini sempat diprotes oleh musisi lain, seperti Lily Allen, misalnya. Penyanyi wanita asal Inggris ini menyebut apa yang dilakukan oleh Radiohead sebagai “arogan”, karena menurutnya, grup seperti Radiohead sudah sangat populer. Berbeda dengan artis-artis yang belum sebesar mereka, dan masih membutuhkan pemasukan dari penjualan lagu, yang akan mengalami kerugian besar jika musik digratiskan. (http://www.rollingstone.com/music/news/lily-allen-oasis-gene-simmons-backlash-against-radioheads-rainbows-20071114)
Hal ini juga mendorong para musisi Indonesia untuk berbuat serupa, menggratiskan album atau lagu mereka. Di tahun 2008, grup band Naif, menggratiskan albumnya yang bertajuk “Let’s Go!” dengan mengedarkannya secara gratis untuk pembeli majalah Rolling Stone Indonesia. Selain itu, mereka juga mempersilakan publik merekam ulang dan menyebarkannya secara bebas. ”Kalau lagu itu digunakan untuk kepentingan bisnis, kami hanya berharap penggunanya memberi tahu kami,” ujar Mohammad Amil Hussein atau biasa dipanggil Emil, pemain bas merangkap manajer Naif pada harian Kompas (http://cetak.kompas.com/read/2008/08/31/02095589/selamat.datang.album.gratis)
Selain Naif, musisi-musisi Indonesia lain seperti grup metal asal Bandung, Koil, dan band indie The Upstairs juga menggratiskan album mereka. Koil menggratiskan album ketiganya, ”Blacklight Shines On”. Manajemen Koil sengaja mencetak 50.000 keping CD dan membagi-bagikannya kepada penggemar. Sementara The Upstairs menggratiskan mini albumnya, ”Kunobatkan Jadi Fantasi”. Album berisi enam lagu itu diedarkan ke publik melalui situs www.yesnowave.com. Pengguna internet kemudian dapat mengunduhnya tanpa bayar sepeser pun (http://cetak.kompas.com/read/2008/08/31/02095589/selamat.datang.album.gratis).
Pada akhirnya, cara ini banyak ditempuh karena penjualan album secara fisik yang terus merosot, sehingga para pelaku industri musik kini lebih banyak mengandalkan pemasukan dari penjualan tiket konser serta merchandise, dan untuk kasus di Indonesia, pendapatan dari penjualan nada dering tunggu yang disediakan oleh perusahaan operator telepon. Peredaran album akhirnya hanya berfungsi sebagai alat promosi atau marketing tools. Karena, seperti diakui oleh pihak Koil dan Naif, lagu-lagu yang disebar secara gratis tersebut dapat diserap dengan sangat cepat dan luas, yang akhirnya mendatangkan tawaran untuk job pertunjukan serta meningkatkan penjualan cenderamata. Selain itu, Koil pun menempuh cara distribusi yang lazim dilakukan oleh band-band indie, menjual album melalui distro-distro komunitas (toko-toko berskala kecil yang khusus menjual cenderamata, seperti kaus dan aksesori band).
Perusahaan rekaman pun kini sudah mulai mengadopsi hal yang sama. Mereka berpromosi dengan memanfaatkan media jejaring sosial, menawarkan lagu dan mini album secara gratis di internet. Dari wawancara Kompas dengan Product Manager-Domestic Universal Music Indonesia, Wawan AEC, perusahaan rekaman saat ini mulai memperlakukan album sebagai alat pemasaran dan mengeksploitasi bisnis lainnya, seperti manajemen artis, penjualan lagu digital, dan cenderamata. Hanya dengan cara itu perusahaan-perusahaan rekaman akan tetap bertahan. (http://cetak.kompas.com/read/2008/08/31/02095589/selamat.datang.album.gratis)
Adib pun mengemukakan pendapat serupa, bahwa mau tidak mau label harus mengeksploitasi musik dalam bentuk lain agar dapat bertahan. Menurutnya, dari segi positifnya, internet bisa dimanfaatkan untuk media promosi gratis bagi artis. Dan dua tahun belakangan, band-band besar asing mulai melihat Indonesia sebagai pasar potensial untuk menggelar konser. Karena format digital belum menjanjikan untuk mendatangkan pemasukan, maka sebagai alternatif, tur atau konser dapat menjadi sumber mata pencaharian bagi artis.
Akhirnya menurut Adib, saat ini “Konsumen ‘dipaksa’ belanja musik lewat show atau konser. Misalnya tadinya konsumen dapat membeli 4 CD sebulan, sekarang digantikan oleh pengeluaran menonton 1 konser/bulan.” Yang terjadi adalah, musisi menjual atau mendistribusikan musiknya dalam wujud pertunjukan langsung. Lebih jauh diungkapkan Adib, bahwa yang terkena dampaknya adalah label, yang berperan sebagai distributor musik secara fisik (album/CD). Selama ini, untuk konser/tur, label hanya berperan sebagai media promosi. Jadi ada kecenderungan kelak, untuk dapat bertahan, label dapat berfungsi sebagai booking agent atau manajeman artis. Jika umumnya saat ini penyelenggara konser (promoter) tinggal mengontak manajemen artis yang bersangkutan untuk mem-booking artis yang bersangkutan, ke depannya mungkin harus melalui label, yang mendapat bagian dari kontrak tur si artis. Hal ini dilakukan agar mereka dapat bertahan.
Usulan lain untuk mengeksploitasi musik adalah dengan membuat cara berjualan musik secara berlangganan. Menurut Adib, di majalah NME (New Musical Express) , sebuah majalah musik populer di Inggris, sempat membahas mengenai gagasan berlangganan musik lewat TV. Idenya adalah melalui semacam saluran TV musik seperti Channel V, tapi bentuknya mirip format radio yang sering dilihat publik di Indovision, hanya berupa lagu. Jadi ketika masuk ke saluran tersebut, ada semacam menu yang dapat dipilih, seperti. Playlist (daftar lagu) atau album. Dan untuk layanan ini, konsumen harus membayar langganan per bulan seperti layaknya TV kabel, misalnya.
Salah satu alternatif lain yang kini sedang berkembang adalah distribusi album dalam bentuk vinyl (piringan hitam), yang membidik konsumen lebih khusus, mereka yang gemar mengoleksi musik. Dari pengamatan penulis, toko CD Aksara di Kemang (kini MonkMusic) yang tadinya menjual CD untuk pelanggannya, kini beralih menjual piringan hitam. Menurut Xandega, salah satu narasumber konsumen yang diwawancara dalam penelitian ini, ia juga sekarang lebih tertarik untuk mengoleksi vinyl dibandingkan CD, yang menurutnya, walaupun lebih mahal (rata-rata berkisar antara Rp. 180 ribu ke atas) bentuk piringan hitam ini lebih “collectible”. Selain itu, ada keuntungan berupa bonus untuk mengunduh lagu-lagu dalam album vinyl tersebut secara gratis dalam bentuk digital (MP3), dan tentu saja, legal.
Dari gambaran kasus-kasus di atas, fenomena disintermediasi telah menimbulkan dampak dari dua sisi, baik positif dan negatif. Positif, terutama untuk kalangan musisi indie label, yang dapat memanfaatkan media internet untuk mendistribusikan dan mempromosikan karya mereka dengan biaya murah, tanpa harus terikat kontrak yang membatasi mereka oleh pihak perusahaan rekaman.
Di sisi lain, dampak negatif dirasakan oleh pemain besar seperti label rekaman internasional maupun lokal serta toko-toko musik retail, karena sebelumnya mereka yang menjalankan peran utama sebagai perantara (intermediasi). Perkembangan teknologi digital mendorong semakin tingginya tingkat pembajakan maupun pengunduhan ilegal melalui fasilitas file sharing di internet, yang pada akhirnya membuat penjualan album fisik menurun secara drastis. Sebagai solusinya, saat ini industri musik harus beradaptasi dengan menempuh berbagai cara, diantaranya adalah dengan menempuh upaya distribusi alternatif seperti lewat ritel dan swa-distribusi, serta mengeksploitasi musik dalam bentuk lain, seperti menjual musik dalam format digital, baik itu berupa RBT, ring tone maupun format lagu digital, serta dalam bentuk pertunjukan (konser) dan menjual cenderamata (merchandise) band/artis.
Nah, kita hampir sampai ke bagian terakhir dari tulisan ini. Mudah-mudahan informasi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sampai bertemu besok ya!
Prinsip SEBAB AKIBAT harus ada SOLUSI…. Industri musik diindonesia ini sangat Lucu sekali semua hanya mencari Akibatnya dari sebab dan tidak pernah ada SOLUSI, gembar gembor dan HILANG… Rame dan Hilang semua hanya prinsip UUD- Ujung-ujungnya Duit….. bisnis musik diindonesia hanya merugikan kita sebagai anak band yang menciptakan lagu…. yang cuma menguntungkan Label saja atau pihak Content Provider sebagai penyelenggara jasa RBT, saat ini blom ada solusi untuk bisnis seperti ini…. semua yang punya uang dia yang berjaya…. kenapa seperti itu???? keuntungan pribadi saja…
seandainya bisa balik ke jaman Pita kaset yang memang teknologi blom berkembang, dan jarang pembajakkan dan benar MUSIKALITAS Terjaga, ” GW gak Suka lagunya GW GAK BELI KASETNYA” tapi manusia sekarang memanfaatkan teknologi untuk kepentingan PRIBADI banyak orang pintar tapi BODOH…. contoh pengalaman saya pribadi ketika no selular saya mempunyai RBT lagu yang tidak saya suka…. dan saya tidak pernah mendownload rbt itu??? knapa bisa seperti itu???? itu ulah ORANG PINTAR TAPI BODOH YANG MAUNYA MENGUNTUNGKAN DIRI SENDIRI TAPI MENGURAS KREATIFITAS PEMUSIK…..
dan untuk Bpk. TANTOWI YAHYA yang saya hormati selamat atas terpilihnya bapak sebagai KETUM PAPRI ( Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia ) Semoga saja yang awalnya menentang RBT dan karna pendekatan khusus akhirnya RBT berjalan mulus tapi tidak ada solusi untuk RBT ini…….
Bagaimana dengan Musik Intrumental (yg tanpa vokal) …….. ???
trimakasih bro, sedikit banyak tulisan trsebut sangat membantu,, apakah bisa mmbantu saya untuk mmberi info profil company, trinity optima atau warner indonesia? trus bagaimana jalur pendistribusian CD/Musik dari artis/dari perusahaan rekaman sampai ke telinga pendengar? trus, bagaimana mnghadapi para pendownload bebas di indonesia ini?, siapa yg brtanggungjawab atas itu, apakah label atau artisnya sendiri? mohon bantuannya bro,, aku mau mengangkat cara pemasaran perusahaan label musik dalam bahasan menejemen strategik di kampusku ni…. trimakasiihh,,
Halo Mas Widi, thanks a lot for such a great writing. Sangat bermanfaat dan membantu, kebetulan saya lagi nyusun skripsi dan mengambil topik mengenai konten musik legal, tulisan mas ini saya jadikan referensi seklaigus sumber sekunder. Oh ya, kalau boleh tanya, saya mau tulisan full dari bahasan ini, setelah subscribe newsletter kemana lagi ya? Trims…