Ini adalah tulisan pertama dari dua tulisan bertajuk Sepercik Fenomena di Industri Musik Hari Ini yang ditulis oleh Indro di http://letdown.multiply.com/journal/item/36
Apa yang pertama terlintas di benakmu saat mendengar frasa “download lagu”?
….
Ya. Sama. Saya juga.
Mari bicara fakta: Di dunia masa kini, khususnya Asia, atau dalam kasus ini Indonesia, “download lagu” erat konotasinya dengan kata “FREE” dan “MP3”.
Bila dikembangkan lebih lanjut, kata kunci yang mengikuti adalah alamat-alamat situs populer yang menyediakan layanan file hosting/file sharingyang, tentu saja, gratis. Kita semua familier dengan nama-nama seperti Mediafire, 4shared dan Indowebster.
Mengunduh dan membayar bukanlah perpaduan kata yang populer di negara ini. Mengapa begitu?
Pertama, saya mencoba mengenang, bagaimana awal dari semua ini…
Masih ingat saat awal berkenalan dengan internet?
Pesona luar biasa yang ditawarkan dunia maya segera saja membuat kita enggan untuk pergi. Bagai membuka Kotak Pandora dan diperlihatkan hal-hal yang belum pernah kita temui sebelumnya. Dan hal-hal baru ini, tak peduli dari mana asalnya, menjadi dalam jangkauan, tiba-tiba semua hal hanya berjarak beberapa “klik” saja.
Dengan kandungan yang serba ada dan tumpah-ruah, internet menjadi candu baru. Tak lama berselang, hadirlah era Web 2.0 di mana dunia maya bukan lagi sekedar tempat mencari informasi, namun juga sarana berinteraksi dan berbagi.
Revolusi dunia maya ini disambut penggunanya dengan gegap gempita. Kegiatan file sharing yang dulunya dilakukan dengan setengah bergerilya, kini dipraktekkan dengan lebih leluasa dan tanpa rasa berdosa.
“Pelanggaran hak cipta? Apa itu? Saya cuma mendownload lagu kok. Semua orang juga melakukan hal yang sama. Siapa yang tidak?” Para “mantan konsumen” industri musik berlenggang santai seperti tidak ada yang dirugikan, sementara yang lainnya berlindung di balik pembenaran.
Seketika, “upload” dan “download” menjadi dua kegiatan utama di dunia maya. Di era “wabah” internet. Tak jarang orang mencari koneksi hanya untuk melakukan dua hal tersebut. Kegiatan yang awalnya terinspirasi sistem barter pada era awal peradaban manusia ini langsung menjadi sistem transaksi yang paling digemari. File sharing segera saja menembus popularitas yang tak terbendung.
Masih bertanya-tanya kenapa? Resapi frasa populer ini: “Kalau bisa gratis, ngapain bayar?”
Bayangkan, karya seni yang rilisan fisiknya bernilai jual cukup tinggi, dengan mudah diubah menjadi bentuk digital dan dibagi-bagikan secara gratis. Tanpa ribet. Tanpa kendali. Siapa yang tak mau?
Dengan lalu lintas file sharing yang semakin merajalela, dunia maya sudah layaknya pasar gelap. Dan industri musik yang bergantung pada penjualan musik pun memasuki era yang paling… gelap.
Separah itukah?
Mari mengkaji satu fakta lagi: Tingkat kesadaran ber-internet masyarakat Indonesia dewasa ini meningkat tajam seiring dengan begitu pesatnya perkembangan layanan mobile internet yang memberikan banyak jalan untuk terhubung ke dunia maya tanpa harus berstatus sebagai orang kaya.
Siapapun, kini dapat mengakses internet kapanpun, dan (secara harafiah) di manapun. Hal tersebut tak lepas dari laju teknologi yang semakin hari semakin tak mengenal ampun. Pernah mencoba membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang yang selalu up to date? Di masa sekarang, hal tersebut bisa berarti berganti gadget tiap tiga bulan sekali.
Semakin singkatnya jeda waktu bagi sebuah teknologi dari berstatus “baru” menjadi “kadaluarsa” membuat kesempatan untuk memiliki semakin besar. Masyarakat yang memiliki daya beli tidak terlalu tinggi melihat fenomena ini sebagai situasi yang menguntungkan. Menunggu penurunan harga sebuah gadget berteknologi mutakhir kini tak se-lama dulu lagi.
Definisi “low end” bagi sebuah gadget/handset masa kini pun mengalami pergeseran arti: Ia paling tidak memiliki kemampuan untuk mengaksesinternet. Sekarang semua bisa menggengam perangkat pintar di tangan.
Dengan semakin terjangkaunya harga gadget dan internet, masyarakat semakin melek teknologi. Berselancar di dunia maya kini bukan lagi hanya menjadi rekreasi mereka yang berpendidikan tinggi. Mereka yang dulunya gagap kini menjadi ahli.
Singkat kata, inilah musabab dari begitu tingginya kecendurungan akses internet via ponsel di negara ini. Bisa dikatakan, bagi masyarakat Indonesia hari ini, medium paling lazim untuk mengakses internet adalah ponsel, benda “berdaya rekat” tinggi, menempel hampir permanen di tangan pemiliknya masing-masing.
Keterikatan antara ponsel dengan pemiliknya ini jugalah yang menampilkan fakta bahwa di zaman sekarang, ponsel juga merupakan medium paling digemari untuk memutar musik. Dalam hal ini, musik mengalir dari sebuah samudera bernama internet dan bermuara pada ponsel. Secara ilegal, tentunya.
Keadaan ini otomatis membuka akses selebar-selebarnya ke “pasar gelap” tadi. Para konsumen industri musik yang terkontaminasiwabah internet mayoritas bertransformasi menjadi mantan konsumen yang merasa terbebaskan dari batasan finansial.
Pada masa kritis industri musik seperti ini, para pelaku industri dipaksa untuk melalui sebuah fase yang, dalam bahasa sederhananya, “serba salah”. Berbagai upaya sudah mereka lakukan untuk memutar keadaan. Merasa percuma melawan, para pelaku industri alih strategi.
Pada akhirnya perdamaian terdengar seperti jalan keluar.
Para pelaku industri musik, khususnya dari pihak label, mulai menyadari bahwa peperangan yang mereka ciptakan tak membuat bisnis ini beranjak kemana-mana. Revolusi bisnis sedang berjalan di dunia maya dan tanpa memahami aturan-aturan yang baru, kata sukses akan selalu menjauhi industri ini. Mereka akhirnya memilih untuk menempuh jalan diplomasi dan belajar bahwa adaptasi adalah kunci.
Berniat untuk berkiblat pada cara-cara yang sudah dipakai di dunia barat, pelaku industri musik lokal mulai melakukan studi banding guna memahami apa yang selama ini luput dari pertimbangan mereka. Untungnya, seperti yang telah saya utarakan di atas, menjelajahi lain negara di dunia maya tidak memerlukan banyak gerak. Semua hanya terpaut beberapa “klik” saja.
Menyerap ide jual-beli digital dan menerapkannya di Indonesia adalah dua hal yang berbeda.
Mencoba strategi bisnis yang sudah lazim di luar negeri adalah usaha terkini dari para pelaku industri. Jika dilihat dari capaiannya, bisnis layanan toko musik digital yang sudah mapan macam Apple’s iTunes Store, Amazon MP3, Rhapsody atau MelOn.com (Korea) terlihat sangat menjanjikan. Tentunya, faktor geografis punya peranan besar di sini dan (sayangnya) capaian-capaian tersebut belum terbukti di negeri ini.
Di sinilah adaptasi berperan penting. Menyamaratakan keadaan dan perilaku konsumen di Indonesia dengan negara lain tentunya tidaklah sahih. Di negara yang menduduki peringkat ke-dua untuk angka pencurian kartu kredit terbesar di dunia, pengusaha layanan toko musik digital harus mencari metode pembayaran alternatif, karena transaksi online dengan kartu kredit di negara ini masih dianggap ribet, kurang merakyat dan yang paling utama, terlalu berisiko.
Lalu mencuatlah nama-nama seperti LangitMusik, Nokia Music dan MelOn. Tiga diantara (paling tidak) belasan pemain lokal dalam bisnis layanan toko musik digital dengan metode pembayaran non-kartu kredit.
Mengapa hanya tiga nama yang saya sebut? Sederhana saja. Pertama, sejauh pengamatan saya, tiga nama tersebut adalah nama-nama yang paling sering muncul di mana-mana belakangan ini. Kedua, tiga layanan tersebut bersangkutan langsung dengan ponsel dan operator telekomunikasi yang saya gunakan. Ketiga, waktu tidak mengizinkan saya untuk mengulas semuanya.
Lebih lanjut, tiga nama ini menurut pandangan saya sudah cukup mewakili sebagai tauladan upaya perdamaian antara industri musik dengan Revolusi Web 2.0 dalam kancah lokal.
Namun, mampukah para tauladan ini mengubah permainan? Siapkah mereka menjalankannya? Dan siapkah kita menerimanya? Tunggu bahasan tiga layanan di atas pada bagian kedua tulisan ini.
kerenn gans…setuju… tp terkadang kita suka terbentur dengan keinginan dan kebutuhan. tp semoga musik indonesia makin maju yagh