Rekap Music Matters – Hari 2

My name is Widi Asmoro.

 

Puncak forum Music Matters disuguhi panel diskusi yang bergizi, sebutlah one-on-one dengan Bob Lefsetz, Lachie Rutherford, Michael Chugg dan Bob Ezrin serta hadirnya artis sebagai studi kasus seperti Indah Dewi Pertiwi dan Tiger JK.

Pagi sudah mulai terasa panasnya di Singapura dengan kritikus musik Bob Lefsetz tampil diatas panggung. One-on-one interview yang dipandu oleh Ralph Simon ini mengalir begitu saja tanpa terbendung. Bob Lefsetz yang terkenal dengan The Lefsetz Letter yaitu mailing list tentang perkembangan industri musik terutama di Amerika Serikat yang kebanyakan adalah pendapat pribadinya dipandang dari sudut pengalaman ia sebagai veteran music label dan juga lawyer. Hey, every American are lawyer, isn’t it? Lefsetz memberikan tips untuk para musisi Asia ataupun artis manager yang berada di Asia untuk memendam mimpinya dalam-dalam buat ekspansi ke Amerika. Pasalnya, orang Amerika juga nggak akan peduli dengan musik apapun yang mereka dengar. Ia mengambil rata-rata orang normal membeli CD setahunnya hanya 2 CD. Ia juga melihat peranan media Amerika untuk menyodori apa yang pantas di dengar publik Amerika akan sangat mempengaruhi apa yang akan menjadi tren. Lefsetz juga mengkritik kontrak rekaman yang ada sekarang di seluruh dunia sudah terlalu tua dan perlu penyesuaian. Dan sebagai artis harus pintar-pintar mencari nafkah di industri musik karena sebetulnya kalau mau kaya jangan jadi musisi.

Andrew Hipsley, Senior VP McDonald’s, memberikan studi kasus bagaimana sebuah brand menggunakan musik untuk menaikkan brand preference mereka di kalangan anak muda. McDonald’s perlahan namun pasti dengan program Voice of McDonald’s memberikan secercah harapan bagi anak muda seluruh dunia untuk berkarir sebagai penyanyi dengan program talent search-nya. Pidato Andrew ini membuka diskusi panel yang berjudul “I’m With The Brand”, diskusi antara brand seperti Coca Cola, Bacardi, Telkom Indonesia, label Sony Music dan artis Indah Dewi Pertiwi tentang bagaimana kolaborasinya untuk saling menguntungkan demi bisnis. Sebelumnya Indah Dewi Pertiwi memamerkan ciri khasnya untuk bernyanyi medley sebelum diskusi panel ini dimulai.

One-on-one interview kembali digelar dan kali ini Luchie Rutherford dari Warner Music Asia Pasifik memberikan visinya tentang industri musik saat ini. Perjalanan karirnya dari EMI hingga kini menjabat Presiden di Warner Music membuatnya tajam membawa Warner sebagaimana saat ini. Luchie menilai bahwa perusahaan telekomunikasi seharusnya tidak melakukan marketing musik, karena itu bukanlah spesialisasi mereka, dan biarkan perusahaan rekaman yang melakukan itu.

Setelahnya tampil diatas panggung adalah Ken Parks, Chief Content Officer Spotify, yang diwawancarai oleh Bob Lefsetz. Ken diserang dengan pertanyaan-pertanyaan dari Bob tentang bagaimana teknologi algoritma mesin pencari bisa sedemikian lugunya memberikan rekomendasi yang sering sekali tidak tepat. Misalkan seorang pengguna Spotify suka dengan Limp Bizkit lalu disodori rekomendasi berikutnya Linkin Park lalu Celine Dion. Ken berkilah bahwa teknologinya akan terus dikembangkan, mengingat katalog Spotify bisa mencapai berjuta-juta lagu bisa saja algoritma program yang sudah disiapkan salah memberikan rekomendasi, apalagi jika metadatanya tidak tepat.

Music Matters kali ini juga disuguhi dengan hadirnya promotor Michael Chugg dan Neil Warnock. Mereka membahas peranan promotor dan agen artis dalam industri musik saat ini. Promotor mempunyai posisi strategis dalam mengembakan sebuah band atau artis dan menghadirkannya secara nyata kedepan penonton di seluruh dunia. Sedangkan agen yang kesehariannya berada di lapangan bisa menjadi faktor pendorong untuk artis bisa sukses di dunia hiburan. Keduanya bisa membangun sebuah band atau artis menjadi mega star dengan hubungan jangka panjang dan terbinanya rasa saling percaya.

Seth Goldstein, Chairman turntable.fm menggunakan kesempatan Music Matters ini untuk mengumumkan rencananya ekspansi ke Asia. Diskusi panel kembali digelar, kali ini menghadirkan start-up atau digital entrepreneurs seperti Rara.com, Soliton Music dan Valleyarm dengan Venture Capitalist. Dari panel ini terkuak pentingnya pengetahuan ekonomi dan investasi disamping pengetahuan mengembangkan teknologi. Dan juga perlu dipahami bahwa saat ini subcription model adalah bisnis model yang paling banyak digemari konsumen serta kemudahan dan user interface yang nyaman yang akan membuat sebuah produk dari digital entrepreneur dilirik oleh konsumen.

Sebagaimana kita ketahui bersama saat ini, musik Korea sedang menjadi tren dimana-mana. Maka Music Matters menghadirkan sebuah panel yang membahas lebih dalam tentang Korean Wave dengan Tiger JK yang merupakan mbah-nya musik Korea, Rob Schwartz dari Billboard, Chan Kim, Fluxus Music dan Razmig Hovaghimian, Viki.com. Ruangan ballroom Ritz Carlton Milenia langsung penat dengan kehadiran fans-fans Tiger JK yang ingin turut menyimak panel diskusi ini. Korean wave ini didukung oleh gigihnya mereka berpromosi lewat internet. Dan juga dengan kerendahan hati mereka mau lebih dekat dengan penggemar-penggemarnya diseluruh dunia dengan menggunakan bahasa lokal negara setempat. Nggak heran Tiger JK yang sering kali nge-tweet dalam Bahasa Indonesia juga mendapat hati fans-fans nya di Indonesia, meskipun lagunya pun jarang sekali diputar di radio-radio Indonesia.

Meningkatnya jumlah konser di kawasan Asia juga mendapat jatah panel diskusi tersendiri. Disini Paul Dankemeyer dari Java Festival Director menekankan pentingnya menyertakan artis lokal dalam sebuah konser-konser artis internasional. Karena itu akan membawa efek emosional penonton setempat untuk datang dan membeli tiket demi mendukung local-heroes mereka disandingkan dengan artis Internasional.

Music Matters ditutup dengan sangat gemilang dengan kehadiran produser handal Bob Ezrin. Bob yang sukses menemukan Alice Cooper saat umurnya masih beranjak 20 tahun tak henti-hentinya melahirkan karya-karya produksi terbaik di dunia. Salah satunya adalah Pink Floyd “Another Brick In The Wall” yang menjalani proses produksi terpanjang dan membuat mereka pindah-pindah studio demi mendapatkan hasil terbaik. Bob Ezrin juga menggunakan kesempatan ini untuk lebih dekat dengan musisi-musisi di Asia. Sebuah kehormatan tersendiri yang digunakan oleh Singapore Music Society untuk mendapat kurasi dari produser handal kelas dunia. Bob Ezrin yang sehari sebelumnya menyelenggarakan workshop menerima banyak CD sample dari artis-artis yang ikutan disana. Seusai workshop ia memberikan waktunya khusus untuk mendengarkan CD tersebut satu demi satu. Ia mengkritik salah satu band yang memberikannya CD tetapi ia butuh waktu sekitar 10 menit untuk membuka CD tersebut, “Jangan biarkan fans kamu bekerja lebih keras untuk menikmati musikmu,” pesannya tegas.

Music Matters tahun ini usai digelar. Diprediksi akan lebih banyak lagi layanan musik digital yang akan segera diluncurkan di kawasan Asia, misalkan turntable, Spotify dan juga iTunes. Segera menyusul forum musik yang bakal digelar juga tahun ini yaitu Nokia Music Connects yang akan diadakan di India dan gelaran seperti Music Matters akan perdana diadakan di Bali Indonesia bekerjasama PT. Telkom Indonesia. Banyak hal yang dapat dipetik dari forum-forum semacam ini, yang tentunya buat saya sudah tidak sabar mengaplikasikannya sekembalinya ke Jakarta.