Dituduh mengambil peranan label musik dalam hal mengeksploitasi artis, promotor konser AEG Live angkat bicara.
Anschutz Entertainment Group Live (AEG Live) memberikan penjelasan mengenai kontraknya dengan Becky Jones, personil Groove Armada yang bersolo karir. Mereka menganggap bahwa kontraknya ini tidak akan mengambil bisnis label musik pada umumnya. Kekhawatiran ini terungkap setelah mengetahui kontrak AEG Live dengan Becky Jones ini meliputi performing rights secara eksklusif, bagian royalti pada rekaman-rekaman berikutnya, publishing, merchandise, brand licensing, sponsorship hingga penghasilan dari endorsement. Wajar bila AEG Live meminta bagian ini karena mereka akan mendukung penuh si artis dengan dukungan marketing dan pendanaan secara internasional.
Rob Hallet, President of International Touring AEG Live, bilang kepada Musicweek bahwa yang mereka lakukan hanyalah mengisi kekosongan dari apa yang label musik tidak lakukan yaitu dukungan untuk tur ataupun konser. AEG Live yang merupakan perusahaan terbesar kedua setelah Live Nation yang mempunyai sasana olah raga dan tempat pertunjukan prestisius di berbagai kota di seluruh dunia. Dengan kontrak ini, mereka menjanjikan artis kesempatan untuk dikenal secara luas. AEG Live adalah penyelenggara ajang Coachella Valley Music and Arts Festival dan memiliki lisensi atas tur Michael Jackson yang belum sempat terlaksana karena keburu MJ wafat. Baru-baru ini AEG Live dan Live Nation sedang bersaing untuk mendapatkan hak pengelolaan eksklusif atas stadion di London yang akan digunakan pada Olimpiade tahun ini.
Artis butuh sekali kesempatan untuk tampil secara langsung dihadapan publik banyak. Itu merupakan ajang pembuktian akan bakat bernyanyi dan beraksi yang tak sekedar mengandalkan tampang dan lekuk tubuh. Apalagi mengingat pendapatan dari penjualan rekaman saat ini terus tergerus. Dengan bekerjasama dengan perusahaan macam AEG Live atau Live Nation akan meringankan beban artis untuk memikirkan hal panggung hingga penjualan merchandise. Buat label musik, kehadiran AEG Live untuk mengerjakan printilan itu sebenarnya makin baik, karena label musik dapat lebih fokus untuk menggarap rekaman dan mengemasnya untuk dijual dipasaran.
Jika dibandingkan dengan dalam negeri, Java Musikindo setahu gue pernah mengontrak band untuk dirilis dan disupport oleh mereka. Entah mengapa kemudian kandas, padahal lagunya lumayan bergema di radio. Apa mungkin karena pasar saat itu masih terlena dengan dagang RBT atau karena minimnya tempat konser yang baik di Indonesia?
Pada MusicMatters lalu, gue sempet mendengar langsung dari John Meglen, President & Co-CEO Concert West/AEG Live, akan keseriusan perusahaannya untuk menjangkau pasar Asia. Saat ini mereka telah mempunyai gedung pertunjukan di Cina yaitu Mercedes-Benz Arena di Shanghai dan Master Card Center di Beijing. Keduanya selain sebagai tempat olah raga tetapi bisa juga sebagai tempat konser.
Seandainya saja AEG Live atau Live Nation mau berinvestasi di Indonesia khususnya Jakarta untuk membangun tempat konser yang mumpuni fasilitasnya. Orang Jakarta masih sangat haus akan hiburan dan artis-artis lokalnya banyak segudang dan perlu tempat manggung yang baik.