LinkedIn agresif sekali memposisikan platformnya sebagai social media untuk kalangan profesional. Apalagi setelah membersihkan diri dari nistanya cross-posting status dari Twitter membuat LinkedIn menjadi lebih relevan terutama uat gue. Namun belakangan ini gue sering mendapatkan tawaran-tawaran promosi lewat inbox di LinkedIn. Yang sayangnya hanya seperti copy-paste tanpa ikatan emosional. Pernah satu ketika teman saya mengirimkan undangan tentang seminar yang akan diadakan oleh kantornya. Gue tertarik dan kemudian mendartarnya juga tak lupa mengabarkan kalau gue akan ikut serta pada seminar tersebut. Balasan yang gue terima muncul beberapa hari setelahnya. Ya mungkin sibuk.
Permintaan untuk terhubung juga kerap gue dapatkan. Untuk yang ini biasanya gue periksa apakah gue kenal, ada fotonya atau dari orang yang namanya cukup familiar. Gue suka heran dengan pengguna-pengguna yang memperlakukan LinkedIn sama halnya dengan Facebook atau bahkan Friendster. Apakah kurang cukup Facebook atau Friendster memenuhi hasrat narsis, galau ataun ke-sok-misterius-nya elo? Tepok jidat!
Emang sih tiap orang bebas memperlakukan media ini seenak udel bodongnya. Tetapi juga hak gue kalau gue suka kasih flag ‘report as spam’ untuk pesan-pesan di inbox yang cuma promosi dan juga mengacuhkan ajakan untuk terhubung di LinkedIn dari akun misterius, akun band dan akun perusahaan. Setidaknya buat gue, ketika gue membuka akun LinkedIn gue, gue mendapatkan sesuatu yang relevan. Sekian dan terima tawaran pekerjaan lewat LinkedIn… Eh!