Masih Adakah Harapan Bagi Toko CD?

My name is Widi Asmoro.

toko CD

Musicweek.com menurunkan berita bahwa toko CD HMV di Birmingham, Inggris, berhenti beroperasi. Toko yang tutup tersebut menyarankan pelanggannya untuk berbelanja pada toko HMV terdekat. Juru bicara HMV bilang, “Kami sedang mereview toko-toko kami, untuk pelanggan yang terbiasa berbelanja CD di HMV Birmingham tetap dapat berbelanja CD di Bullring Center dan Fort Shopping Park.”

Di Jepang, perusahaan rekaman independen, Avex, melaporkan angka jualan album fisik pada kwartal kedua tahun ini merosot tajam dibandingkan kwartal tahun sebelumnya. Penurunan sekitar 48% dari 1,360,000 CD di kwartal tahun lalu dibandingkan kwartal kedua tahun ini yang hanya 710,000. Meskipun begitu, penjualan single fisik masih menghasilkan sukses hingga dua kali lipat.

Di Swedia, peritel CD fisik atau yang biasa disebut sebagai brick-and-mortar retailers ini juga sudah sepi dikunjungi sejak satu dekade lalu. Problem semakin menjadi bagi toko-toko yang spesialisasinya menjualkan CD karena harus bersaing dengan supermarket yangn mampu menjual CD dibawah harga standar. Menurut laporan dari Grammofonleverantörernas förening (GLF) atau yang tak lain adalah asosiasi industri rekaman di Swedia, angka jualan album fisik turun di 2010 menjadi SEK 41.17.

Editorial Rolling Stone Indonesia pada tahun 2009 sudah mengangkat keterpurukan peritel CD lokal atas perubahan market dari fisik ke digital. Baru-baru ini gue sempat berbincang dengan ‘orang-dalam’ industri musik Indonesia. Beliau bilang kehadiran KFC dan supermarket-supermarket yang menjajakan CD membuat kawan-kawan sesama agen dan peritel harus berpikir ulang untuk berinvestasi mendistribusikan dan menjual CD. Yang jadi persoalan adalah banyak rilisan dari artis-artis papan atas justru larinya ke KFC atau supermarket. Agen-agen yang biasanya sebenarnya tidak mempermasalahkan asalkan setelah dirilis di restoran atau toko tersebut sebulan kemudian atau setelahnya mereka juga dapat bagian untuk mendistribusikan, namun kenyataannya tidak demikian.

Saat ini, produk fisik seperti CD juga digunakan label sebagai marketing tools untuk menarik orang membeli tiket konser atau membeli produk lainnya dari artis. Malahan ada label yang menggunakan daya tarik CD agar orang membeli produk digital.

Biarpun kondisinya begitu, minat orang untuk membeli musik dalam bentuk fisik masih ada. Kawan-kawan gue yang masih membeli CD merasa pentingnya memiliki sesuatu untuk dipegang dari produk musik (tangible format). Produk fisik menjadi legitimasi untuk fans musik atas dukungannya terhadap artis kesayangannya. Teknologi digital, kemudahan distribusi online dan lapak bajakan menjadi tantangannya. Pertanyaannya sekarang apakah mereka para distributor CD masih dapat bertahan atau malah berinovasi? Semoga label musik dan toko CD dapat terus bergandeng tangan mendistribusikan musik buat kita semua!

3 Comments

  1. “Agen-agen yang biasanya sebenarnya tidak mempermasalahkan asalkan
    setelah dirilis di restoran atau toko tersebut sebulan kemudian atau
    setelahnya mereka juga dapat bagian untuk mendistribusikan, namun
    kenyataannya tidak demikian. “—> ini yang gw sesalkan juga. monopoli. dan malah gw mencibir artis-artis yg ikut kesana. egois kalau menurut gw. dan mereka sendiri malah yg menutup jalan mereka untuk bisa disukai oleh orang banyak.

    well..bentuk fisik masih tetap penting, buat artis yang mengerti otentik karya musiknya dia.

Comments are closed.