Tulisan ini adalah bagian ketiga dari empat bagian essay yang berjudul “Mencari Wajah Baru Industri Musik Indonesia”. Gue sediakan tautan untuk lompat ke empat bagian tersebut yaitu: Kilas Balik, Era Internet, Upaya Untuk Tetap ‘Survive’, dan Pencarian Model Baru Industri Musik Indonesia. Selamat membaca!
Upaya Untuk Tetap ‘Survive’
Tidak hanya berdiam diri menunggu pemerintah, beberapa perusahaan rekaman mencoba terus melanjutkan bisnis nya dengan inovasi baru. Jaringan distribusi fisik yang biasanya bergantung pada toko-toko CD yang terdapat di mall atau pusat perbelanjaan ibu kota mulai sepi dikunjungi. M Studio, Bulletin, Harika dan Disctarra adalah beberapa nama toko-toko CD yang popular terpaksa mengurangi jumlah outletnya. Agen-agen di luar Jakarta pun banyak yang beralih ke bidang profesi lain. Melihat ini perusahaan rekaman harus keluar dengan alternatif jalur distribusi CD lainnya. Restoran cepat saji Kentucky Fried Chicken pun dijajaki sebagai tempat untuk membeli CD. Ritel-ritel penjual kebutuhan rumah tangga seperti Alfamart, Indomart, Carrefour hingga Superindo juga dijajaki untuk mendekatkan produk CD kepada konsumen luas yang tak melulu spesifik penggemar musik.
Musisi juga tidak ingin tinggal diam karena bermusik adalah hajat hidup mereka. Melakukan pertunjukan secara live atau dengan konser adalah suatu yang harus kembali diterapkan. Jika dahulu di era kejayaan produk fisik konser dilakukan untuk mempromosikan produk fisik mereka, saat ini justru sudah terbalik. Pertunjukkan langsung menjadi sumber pemasukan mereka dengan produk rekaman fisik menjadi promotion tools.
Musisi-musisi yang tidak berada dibawah bendera perusahaan rekaman juga mencari alternative agar dapat memperoleh penghasilan yang layak dari bermusik. Mengoptimalisasikan social media lewat internet sebagai tools marketing dan mencoba menerobos pasar internasional dilakukan sendiri oleh para musisi. Contohnya strategi online marketing yang dilakukan band Everybody Loves Irene yang membuktikan meskipun band indie namun juga bisa menerapkan strategi online marketing hingga membuat band ini bisa tur Asia.
Band-band independent ini tidak mendapatkan fasilitas mewah untuk menjual produk musiknya yaitu CD melalui gerai-gerai KFC ataupun pasar modern seperti Carrefour. Namun konsistensi marketing melalui social media membuat brand mereka menjadi bagian sehari-hari dari para remaja Indonesia. Upselling mereka lakukan dengan menjual merchandise seperti t-shirts, topi, poster hingga buku. Sebagai contoh adalah band Seringai yang mampu terus bertahan dengan berjualan merchandise.
Bergerak dalam lingkungan independen membuat musisi-musisi ini tidak bisa mencicipi manisnya perlawanan terhadap pembajakan melalui jalur hukum. Mereka memilih untuk tidak terlalu mempersoalkan hak cipta dengan lebih mendekatkan hubungan dengan para fansnya dan membiarkan fans tersebut untuk memilih untuk membeli produksi rekaman atau tidak. Mereka membangun kedekatan ini dengan memberikan fansnya alasan untuk terus mengetahui berita terbaru dan juga dengan striping reality show hingga pertunjukan teater.
JKT48 yang merupakan adik dari grup asal Jepang AKB48 telah mendemonstrasikan strategi ini. Mereka membangun kekuatan fans untuk terus mendukung mereka, menyaksikan pertunjukkan mereka hingga menggunakan atribut-atribut yang berkaitain dengan mereka. Sebaliknya mereka memberikan hiburan total bagi fans mereka yang tidak melulu bergantung pada produk fisik. Strategi ini membuat grup-grup seperti JKT48, Cherrybelle dan SM*SH menjadi media bagi para brand untuk dekat dengan target marketnya yang merupakan fans-fans dari grup musik ini.
Elemen lainnya dari industri musik seperti organisasi pemungut royalty dari public performance dan publisher pun dituntut fleksibel mengikuti perkembangan jaman. Musik sudah menjadi bahasa luas yang merasuk hingga ruang-ruang publik. Munculnya banyak usaha karaoke di Indonesia sebagai contoh yang membuat elemen-elemen industri musik ini menetapkan aturan main bagi para pengusaha yang menggunakan musik rekaman untuk mendatangkan keuntungan. ASIRI memiliki perusahaan afiliasi yaitu PT. ASIRINDO untuk mengolah lisensi secara kolektif yang dibayarkan oleh para pengguna musik. Kemunculan WAMI (Wahana Musik Indonesia) sebagai collecting society atau lembaga pemungut royalty atas public performance juga merupakan jawaban dari tuntutan jaman.
Selanjutnya: Pencarian Model Baru Industri Musik Indonesia.
5 Comments
Comments are closed.