Artikel pagi kemaren dari The Guardian yang mengangkat rencana YouTube untuk segera menurunkan konten-konten dari indie label yang tidak menyetujui untuk bergabung ke layanan musik nya mendapat sambutan keras. Diskusi di grup whatsapp tim perencang buku cetak biru Ekonomi Kreatif Indonesia diwarnai soal ini. Robin Malau (@lowrobb) yang sempat bertandang ke UK dan bertemu pentolan indie label yang ada disana juga berbagi keresahan yang sama. Dan sebagai jawaban atas mentionan bung Samack (@samaksamack) di Twitter, gue tulis catatan bersejarah ini dalam blog Music Enthusiast ini sembari perjalanan Jakarta-Jogja.
Rencana Besar YouTube
Adalah pernyataan Robert Kyncl, Head of Content and Operation Business YouTube, yang dikutip oleh Financial Times yang menjadi landasan akan keresahan musisi indie akan keberlangsungan konten mereka untuk terus ada di YouTube. Seperti banyak orang tau, platform video YouTube sudah sangat populer sekali. Bahkan sebagai alat untuk menemukan musik baik baru ataupun lama (music discovery tools), YouTube menempati posisi #2 setelah radio. Keberadaan YouTube dengan jumlah lagu yang banyak sekali berkat user-generated content sudah menjadi hal mutlak bagi pecinta music.
Selama ini YouTube sebagaimana induknya yaitu Google, hidup dari pemasukan iklan. Rencana kedepan YouTube adalah untuk memberikan fasilitas premium bagi penggunanya yang mau membayar lebih untuk menikmati lagu dan video di YouTube tanpa terganggu oleh iklan. Tentunya ini akan berakibat pada berubahnya bisnis model yang YouTube jalankan saat ini. Dan demi situasi yang win-win antara pemilik konten (music label), penyedia platform (YouTube) dan juga pengguna serta pecinta musik (viewers) maka kebijakan haruslah diturunkan.
Mark Mulligan dari biro konsultasi MiDIA berpendapat langkah YouTube untuk menambahkan fasilitas premium ini terlalu berani. Pasalnya, dari riset yang dilakukannya hanya 7% secara total atau hanya 2% pengguna YouTube di Amrik yang mau membayar lebih untuk fasilitas premium ini. Jumlah 25% lainnya haqul yaqin pengennya gratisan.
Jadi apakah kita akan dapat menyaksikan video-video dari Adele ataupun Arctic Monkeys di minggu-minggu mendatang, masih menjadi tanda tanya besar.
Channel YouTube Endank Soekamti Jadi Korban?
Bersamaan dengan turunnya artikel tersebut, Erix Soekamti, pentolan grup indie Endank Soekamti, lewat akun Path dan Instagramnya memberitahukan tentang hilangnya channel YouTube milik mereka www.youtube.com/SoekamtiOfficial. Channel YouTube milik grup indie asal Jogja ini berisikan lagu-lagu mereka dan juga beberapa web-series bikinan mereka.
Apes memang, channel mereka hilang pada saat YouTube vs Indie sedang bergejolak. Namun menurut gue hilangnya channel YouTube Endank Soekamti tidak ada hubungannya dengan artikel tersebut. Jika kamu mengikuti perkembangan grup ini, pasti tau betul bahwa album-albumnya tersebat di berbagai label seperti Warner Music, Nagaswara, Virgo Ramayana dan sebagainya. Meskipun menurut mereka segala master dipegang langsung oleh label mereka sendiri yaitu Euforia Records. Jadi besar kemungkinan terjadi dispute copyright yang menyebabkan channel ini dicap sebagai Copyright Infringement. Gue pernah menonton salah satu web-series mereka dan dalam video tersebut ada backsound yang menggunakan lagu dari grup band barat, gue lupa band nya apa, tapi memang pada saat episode tersebut lagu itu sangat mewakili. Ini pun bisa menjadi penyebab sebuah channel di suspend atau bahkan di delete oleh YouTube.
Jadi buat Endank Soekamti, jangan patah arang. Upload kembali video-video nya di tempat lain, sebutlah Vimeo. Atau mungkin bisa ditawarkan ke Digilive atau ke UseeTV. Dengan banyaknya platform video streaming yang hadir di Indonesia pastinya mereka butuh konten supaya nggak kehilangan pengguna.
Njuk Piye?
Kembali lagi ke soal indie vs YouTube tadi. Terima sajalah. Jika ingin terus menggunakan platform tersebut sebagai medium promosi dan juga mesin uang. Bisnis rekaman hari ini sangatlah berbeda dengan 10 atau 20 tahun lalu. Kehadiran pengembang teknologi yang memanfaatkan musik untuk bisnisnya merupakan satu hal yang berbeda dengan dahulu membuat cakram padat. Pengembang teknologi mempekerjakan sekian banyak programmer agar dapat mencukupi keinginan pengguna layanannya untuk terus menggunakan dan tidak pindah ke layanan lain. Kenyataan semua orang sekarang bisa bikin musik juga membuat supply yang berlebih.
Ngerti juga sih, bikin musik kan juga gak gratis dan gak murah. Ada listrik buat menghidupi semua alat-alat di studio. Ada ongkos yang harus juga dibayarkan kepada kru rekaman. Dan juga membuat lagu hits tidak bisa setiap saat. Kalau memang begitu dan tidak sejalan, ya monggo saja untuk tidak setuju. Toh, platform video juga banyak yang lain. Tinggal bagaimana platform video yang lain ini dapat menarik banyak pengguna dan juga dapat membantu promosi lagu kita. Tapi jangan lupa, mumpung platform video lain ini belom menjadi besar dan songong, baiknya kita juga paham akan aspek hukum dari lisensi dan hak karya cipta supaya bisa was-was. Dan terlebih penting lagi, namanya bisnis dan ber-partner ya harusnya ada trust dan terjadi win-win dong yah..