Momok pembajakan memang selalu menghantui meskipun kita sudah ada di jaman kemerdekaan terutama untuk musik. Teknologi yang selalu dijadikan kambing hitam untuk momok yang satu ini. Keterbatasan-keterbasan seperti akses musik atau mendapatkan musik secara resmi selalu jadi alasan. Namun ada beberapa hal yang kayaknya penting deh sebelum menyalahkan teknologi.
Memahami Karakteristik Digital Native
Anak masa kini selalu terhubung dengan internet. Mereka bisa mendapatkan konten apa saja yang mereka mau, kapan saja, dimana saja bahkan membuat konten pun mereka bisa. Mereka adalah generasi yang terhubung dengan internet. Anak-anak kelahiran ’90-an yang mungkin hampir tidak mengenal mendengarkan musik lewat kaset.
Biasa mereka disebut sebagai Digital Native. Sementara yang kayak gue gini yang lahir saat MTV dan menggulung pita kaset kusut adalah suatu keasyikan yang bisa disamakan dengan main Angry Birds masa kini, merupakan generasi Digital Immigrants. Masa transisi dari analog ke digital yang merasa penting banget punya cloud storage tetapi masih menyimpan catatan di kertas.
Apa yang membuat kami beda? Digital Native adalah generasi masa depan. Menurut riset MiDia, karakter Digital Native ini menyukai kebebasan dalam mengkonsumsi musik. YouTube adalah jukebox mereka yang dapat memenuhi kebutuhan mendengar (dan melihat) musik serta gratis. Mereka menyukai streaming karena kemudahannya. Mereka adalah masa depan yang akan menggantikan Digital Immigrant.
Payung Hukum Yang Kuat
Para pemengku kebijakan baik dalam negeri maupun dunia internasional paham betul untuk mendorong kemajuan manusia maka perlindungan terhadap kekayaan intelektual harus menjadi prioritas. Ya termasuk kekayaan intelektual dalam membuat sebuah karya musik. Berbagai penegakan hukum telah dilakukan dan perangkat hukum lainnya tengah disiapkan.
Di Indonesia sendiri, rancangan undang-undang hak cipta (RUU HAKI) yang akan menjadi pengganti dari UU Nomer 19 Tahun 2002 punya berbagai kelebihan. Salah satunya adalah perpanjangan masa perlindungan terhadap hak cipta dari penulis lagi ditambah dari 50 tahun menjadi 70 tahun. Selain itu, RUU HAKI yang baru nanti akan mengatur soal jual beli putus. Jadi selama ini jika penulis lagu menjual lagunya secara putus, mereka dilarang untuk memperbanyak atau menggandakan ciptaannya. Padahal bukan tidak mungkin ciptaannya tersebut meledak dipasaran. Di RUU yang baru nanti, jual beli putus ini hanya berdurasi 35 tahun, setelah itu penulis lagu akan memperoleh hak ekonominya kembali.
Digital Native musti menyambut hal positif ini. Berkarir di musik dengan menulis lagu bukan lagi sekedar hobi tetapi juga sebuah bisnis yang menjanjikan. Perlindungan semacam ini bukan hanya baik buat mereka di masa kini, anak cucu mereka pun akan mendapatkan jaminan ekonomi, kalau karyanya meledak.
Ketersediaan Membunuh Pembajakan
Bukan alasan lagi kalau mendistribusikan musik saat ini susah. Untuk fisik, contoh saja Demajors di Indonesia yang sudah menjadi rekan banyak musisi Indonesia. Kebebasan berekspresi dan berkarya diakomodir dengan baik dengan merilis berbagai jenis musik. Peluang yang kecil untuk dijual di gerai-gerai restoran atau supermarket, bisa disiasati dengan jualan online. Digital Native mulai mengadopsi jual beli online meskipun masih dalam takaran budget yang terbatas.
Di online sendiri jualan musik secara digital juga mudah. Kehadiran aggregator musik yang dapat mendistribusikan musik ke iTunes, Google Play, dan sekian banyak toko musik digital lainnya mempermudah kita musisi menyediakan konten musik ke khalayak. Jangkauannya pun luas ke berbagai negara. Bukan tidak mungkin jika lagu loe kurang terkenal di Indonesia tetapi malah justru digandrungi di benua lain. Gue sangat terinspirasi dengan dokumenter “Searching for Sugar Man” karena itu mungkin banget.
Pembajakan hadir karena ketidak tersediaan di tempat yang resmi. Kalau saluran-saluran yang resmi dipenuhi dengan karya-karya kita, alasan lain mungkin daya beli. Namun berbagai bisnis model baru telah diperkenalkan. Contohnya Ad-Funded di YouTube yang sangat populer itu.
Apalagi Presiden terpilih yang nantinya mudah-mudahan jadi dilantik punya ketertarikan terhadap musik. Belum pernah gue liat Billboard nulis tentang orang Indonesia di web nya http://www.billboard.com/articles/news/6214201/joko-widodo-napalm-death-barney-greenway-interview. Bukankah ini juga bisa menjadi dorongan untuk memotivasi lagi?
Jadi kita sekarang sedang berada di era musik merdeka. Musisi bebas membuat karya apa saja dan fans musik bebas menikmatinya dari mana saja dan kapan saja. Tinggal gimana kita bisa kreatif untuk mengisi kemerdekaan ini dengan karya kita!