Maraknya ajang pencarian bakat di televisi dan tayang nyaris bersamaan menyisakan pertanyaan penting buat gue. Apakah ajang pencarian bakat sudah dapat menghadirkan musisi berkualitas? Apakah ajang tersebut juga sudah dapat memuaskan telinga semua pecinta musik? Dan terakhir apakah ajang pencarian bakat tersebut dapat berkontribusi baik pada roda bisnis musik?
Ajang pencarian bakat lewat media televisi yang dimotori oleh suksesnya ajang Idol di tahun 2000-an bukanlah hal baru. Indonesia sudah mengenal ajang pencarian bakat lewat media radio. Sebutlah Bintang Radio yang muncul tahun 1951. Lalu televisi membuatnya semakin sumringah dengan bumbu drama kehidupan dalam sinetron ‘reality show’ macam Akademi Fantasi Indosiar dan sebagainya. Internet bahkan membawa ajang pencarian bakat ini lebih jauh. Tidak perlu nunggu prime-time, kapan saja kita bisa buka YouTube atau SoundCloud untuk menemukan bakat baru.
The Paradox Of Choice
Dengan banyaknya pilihan untuk menemukan bakat baik lewat ajang pencarian bakat di televisi atau media lain seperti internet, membuat kita berharap banyak pada sang juara dari ajang pencarian bakat. Kita menginginkan mereka memenuhi standar-standar kualitas yang kita inginkan. Kualitas adalah ambiguitas ketika semua orang memiliki standar masing-masing yang berbeda. Lalu apa yang terjadi saat sang juara dari ajang pencarian bakat itu telah dinobatkan dan kualitasnya sudah tercapai, apakah kita sudah puas?
Barry Schwartz dalam thesisnya “The Paradox of Choice” bilang kalau banyaknya pilihan yang ada bukan membuat kita semakin puas malah justru akan menimbulkan kekecewaan. Sementara itu, pilihan-pilihan lain terus muncul dan membuat kita menahan diri untuk memilih lagi karena takut kecewa. Akhirnya kita hanya memilih satu yang kita anggap paling tidak membuat kita kecewa meskipun kita tidak puas dengan pilihan tersebut.
Ini sama halnya jika dilihat pada kenyataannya, kondisi dan situasi sering membuat hal diluar dugaan terjadi. Seperti contoh kalau mood lagi turun atau gangguan sound system panggung yang menurunkan performa. Akhirnya yang ada penonton malah kecewa. Menganggap ini tidak ada berkualitas. Jadi memang lebih baik untuk tidak banyak berharap. Asalkan suaranya nggak fales deh boleh lah dia bernyanyi.
Ambiguitas Musik Berkualitas
Dengan banyaknya ajang pencarian bakat tersebut, sering dijanjikan akan menghadirkan juara yang berkualitas. Dan kata ‘berkualitas’ ini membuat gue kembali dipertemukan (secara virtual) oleh Dina Dellyana. Ia bertanya standar musik yang berkualitas itu seperti apa. Gue mencoba mencari-cari jawabnya.
Apakah kualitas itu adalah kadar yang ‘pas’ baik dari suara, komposisi, hingga lirik dan diterima oleh mayoritas yang keluar dari ajang pencarian bakat? Apakah kualitas yang dimaksud adalah suatu yang orisini muncul dari hati? Apakah jika diproduseri oleh produser musik yang piawai lantas musiknya bisa disebut berkualitas? Apakah jumlah ‘like’, followers, youtube views, itunes download, polling sms yang bakal menentukan kualitas terbaik?
Dalam sebuah komentar blog Musikator, Arian13 menggaris bawahi soal kualitas berbanding lurus dengan perdagangan. Selama musik itu bisa dijual dan laku maka bisa disebut musik berkualitas. Menurut gue itu masuk akal sebagai barometer dari kualitas. Lalu gue melihat video Syahrini di SCTV.
Loe boleh setuju atau tidak jika Syahrini dibilang berkualitas karena bisa dijual. Tapi gue yakin, nada dari lagu yang dinyanyikan pasti ada yang nyangkut di kepala loe. Musiknya memang dikomposisi oleh musikus beneran, Eka Gustiwana, dan Syahrini dengan lempengnya memanfaatkan itu untuk menaikkan nilai jualnya.
Kebutuhan Untuk Ditemukan
Oke cukup soal Syahrini dan kita kembali pada kontestan-kontestan ajang pencarian bakat yang ingin segera ditemukan dan terkenal. Sebagai makhluk hidup yang normal, ingin rasanya jika hasil karya kita atau bakat yang kita punya dapat ditunjukkan kepada khalayak luas. Dan akan sangat beruntung lagi jika dari karya itu kita dapat ditemukan oleh orang yang mampu dan mau menuntun kepada kesuksesan. Seperti dongeng yang kerap diceritakan saat masih kecil. Kita semua menunggu hadirnya pangeran berkuda putih untuk mengajak kita pergi ke istana.
Ajang pencarian bakat memberikan fasilitas pertemuan tersebut. Kehadiran media massa membuat wadah yang luas buat bakat-bakat baru ditemukan. Semua orang bisa bernyanyi dan juga demikian halnya semua orang bisa juga menjadi juri.
Setelah mereka keluar sebagai pemenang ajang pencarian bakat tersebut rupanya dongeng mereka belum berakhir dengan indah. Tidak sedikit juara ajang pencarian bakat tidak terlalu berkibar di blantika musik. Sebutlah Very juara Akademi Fantasi Indosiar yang nggak kedengeran kabar album solo nya. Atau Mike Mohede juara Indonesian Idol yang nampaknya kini perlu usaha maksimal untuk menyaingi Tulus yang masih baru dan bukan dari ajang pencarian bakat.
Bakat Dan Cerita Yang Tepat
Akhirnya kembali pada cerita apa yang bisa dijual. Ini bukan lagi soal musik yang bagus atau ketrampilan bernyanyi yang prima. Perlu ditambah lagi dengan sebuah cerita yang mengena. Sebuah nilai (values) yang dapat diterima dan didukung oleh orang banyak.
Manusia senang berbagi cerita. Saat mereka sedang berkumpul bersama dengan teman-temannya, mereka berbagi cerita. Bahkan sekarang berbagi cerita dipermudah lagi lewat media sosial. Kita saling berbagi cerita pengalaman saat melihat dan mendengarkan kontestan ajang pencarian bakat. Kita memilih bukan sekedar karena suara yang bagus tetapi karena cerita dan nilai (values) sang kontestan mengena di ruang hati kita.
Jadi gue setelah menulis blog ini akan kembali duduk manis di depan televisi yang sedang memutarkan ajang pencarian bakat. Menjadi juri versi gue sendiri sambil sesekali menengok mesin pencari, Google, berharap dapat menemukan informasi lebih lagi tentang kontestan yang sedang gue hakimi. Sambil memikirkan cerita yang pas buat kontestan tersebut. Andai saja ia tidak menjadi pemenang ajang pencarian bakat tersebut, mungkin gue bisa membuat dia terkenal dan bisa dijual. Asal gue bisa menemukan cerita yang tepat buat dihadirkan di masyarakat.
(ps…dan juga modal)
(pss…serta usaha)
(psss…dan sebagainya dan sebagainya)
Wahaha… management nya Syahrini cerdas… 😀 #BaruTau kalau dinyanyiin di TV.
Cukup soal Syahrini… ^_^
Musik berkualitas atau Penyanyi berkualitas?
Selesai dari acara ajang pencarian bakat, itu kembali ke Artist dan Managemennya.
Mereka dapat memanfaatkan tidak ketenaran yang telah mereka dapatkan…
Kalau benar, rata-rata jebolan pencarian bakat itu, sudah terikat kontrak selama sekian tahun oleh management yang dibuat oleh TV nya.
Mungkin untuk mengontrol artist mana yang mau mereka naikkan, jangan sampai saling bersaing antar artist satu management.
Saya pernah bertemu dengan salah satu jebolan Indonesian Idol, dan dia curhat ingin kontrak dengan management-nya segera berakhir. Karena dia tidak dapat “berkembang” dengan baik disana.
Kalau benar, T2 terbentuk setelah mereka lepas dari management nya AFI.
Tia AFI ngeluarin album nggak begitu kedengeran juga, padahal kualitas suaranya keren menurut saya.
Judika naik mungkin karena dipegang Management nya Ahmad Dhani langsung.
Kontestan The Voice (yang keren keren suaranya) kemana semua sekarang? nasibnya mungkin sama dengan kontestan AFI disemua season.
Yang saya lihat, jebolan Ajang nya Indosiar banyak yang nggak kelihatan setelah selesai ajangnya. Management nya kurang OK. 😀 wehehe..
Kontestan XFactor Indonesia, yang keliatan hanya Fatin dan sedikit Novita. Apa yang lain di “kulkas” in sama management nya?? 😀
Perjuangan mereka yang sebenarnya adalah setelah keluar dari Management Ajang Pencari Bakat mereka. Yang dapat mereka kerjakan sekarang, mencari manager yang cocok dan se-visi dengan dia, lalu mengembangkan fanbase nya dengan cara apapun yang tidak melanggar kontrak dengan management nya.
Pinter-pinter nya artist… Wehehe…
IMHO
@FerdianKelana