Gue sangat seneng sekali kalau ada film dokumenter apalagi dokumenter musik. Semacam yang baru-baru ini ditayangkan secara online. Judulnya “Distortion of Sound” yang dibuat oleh perusahaan perangkat keras audio, Harmann.
Perkembangan Teknologi, Perubahan Gaya Konsumsi
Dokumenter ini mencoba mengungkit masalah kualitas audio yang dirasa makin kesini makin diabaikan oleh para penikmat musik pada umumnya. Dengan segala kemudahan yang ditawarkan teknologi digital, musik kini bisa didengar kapan saja dan dimana saja. Namun kemudahan ini mengorbankan kualitas suara yang menurut para musisi dan pembuat musik yang diwawancarai di dokumenter ini bagaikan tidak menghargai hasil kerja keras mereka membuat musik.
Jika kita ingat bersama, kehadiran musik di piringan hitam (vinyl) merupakan langkah awal industri rekaman mencapai tingkat konsumsi massal. Format rekaman dalam piringan hitam (vinyl) hingga kini masih dianggap sebagai format yang mampu menghadirkan kejernihan suara dan kehangatan dari musik yang direkam ke dalamnya. Malahan kini tren mengoleksi piringan hitam (vinyl) kembali hadir terutama bagi pemuja kualitas audio.
Piringan hitam (vinyl) digantikan oleh kehadiran 8 tracks lalu kaset, hingga Compact Disc dan kini format digital baik dalam kompresi WAV ataupun MP3. Keinginan menghadirkan semua musik ke siapapun dan mengkonsumsi musik sebanyak-banyaknya membuat adanya dorongan agar besarnya ukuran file musik digital semakin diperkecil. Akhirnya kompresi file (bukan kompresi audio karena itu beda teknologi) dilakukan dengan mengorbankan frekuensi-frekuensi tertentu yang biasanya diabaikan. Bagi musisi, pengabaian ini cenderung mengambil makna terpenting dari keutuhan karya yang dibuatnya.
Demand vs Supply
Coba bayangkan hari ini berapa banyak pilihan musik yang bisa kita dengarkan? Gue bisa bilang, sangat banyak sekali. Kayaknya semua orang bisa membuat musik hingga mempublikasikannya. Bayangkan teknologi yang begitu mudahnya membuat kita menjadi kreator musik saat ini. Kayak yang banyak dibawa oleh manusia metropolis macam gue yaitu Handphone yang kini bisa dengan mudah merekam dan menguploadnya di internet.
Atau coba saja buka YouTube yang merupakan gudang musik paling besar yang dimiliki oleh umat manusia hari ini. Mau denger musik baru atau musik lama ada disini. Mau yang aseli atau yang tiruan (cover) juga banyak.
Kepopuleran YouTube menyimpulkan bahwa manusia bumi menginkan konten hiburan setiap hari. Bangun tidur sampai mau tidur lagi perlu asupan konten hiburan. Dari dari sekian banyak macam konten hiburan yang paling banyak dikonsumsi adalah musik. Dan mereka mendengarkan musik dari berbagai perangkat dari yang paling murah seperti speaker di laptop atau speaker di handphone hingga mengeluarkan dana besar demi perangkat audio yang bagus. Oh iya, minggu lalu saya baru diracuni oleh Welly “CreativeDisc” untuk lebih menghargai musik dengan hardware dari Jaben Surabaya, oke lah! 🙂
Masalah Atau Tantangan?
Musik dengan kompresi besar-besaran yang hadir sekarang ini apakah malah menjadi masalah? Apakah semua orang memerlukan mendengarkan musik secara mendetil dengan audio yang bagus? Bagaimana dengan konsumsi musik masif para generasi pelahap McDonald saat ini terhadap musik yang ada dipasaran?
Teknologi selalu yang ditunjuk sebagai yang bertanggung jawab atas perubahan ini. Kemudahan streaming yang menurut banyak orang banyak mengorbankan kualitas audio menjadi bahan perdebatan. Namun hal ini mendorong perusahan teknologi untuk mengeluarkan produk streaming dengan kualitas audio tinggi, contoh saja Deezer Elite atau MixRadio+. Hanya saja untuk bisa menikmatinya, para konsumer musik harus merogoh koceknya lebih dalam sementara versi yang standar bisa didapatkan dengan gratis (atau dengan iklan).
Tonton deh dokumenter ini baik-baik dan kalau boleh kasih komentar loe di blog ini. Gue pengen tau apa pendapat loe terhadap kualitas dan konsumsi. Apakah ini menjadi masalah atau justru tantangan?