Musik pop Indonesia itu sangat menarik diulas. Gue sempet terlibat dalam sidang kategorisasi AMI Awards yang melibatkan penggiat industri musik. Disini tugas gue dan peserta adalah berusaha mengkategorikan lagu-lagu Indonesia ke dalam suatu genre musik. Debat panjang tak terelakkan saat menentukan apakah lagu ini masuk ke dalam jenis musik pop atau masuk ke dalam jenis pop urban. Nah apalah ini ada kategori musik pop urban? Kenapa nggak dimasukkan ke dalam kategori musik pop (saja)? Kenapa harus dibedakan?
Rupanya pembedaan ini sudah pernah terjadi. Di era ’80an-’90an kita kenal istilah ‘Pop Kreatif’ yang disandangkan untuk lagu-lagu dari Fariz RM, Chrisye dan sebagainya. Ini diberikan untuk membedakan dengan lagu-lagu yang dibawakan oleh Dian Piesesha, Nia Daniaty atau Betharia Sonatha. Secara warna musik yang dibilang Pop Kreatif intinya adalah lagu-lagu yang tidak berlirik cengeng dan membawa semangat modernisasi dengan memasukkan unsur fussion atau kadang elemen musik electronica. Di pasar, masyarakat bebas memilih lagu mana yang disuka yang sesuai dengan perasaannya. Paling juga tidak peduli mana yang kreatif dan mana yang pop (tidak kreatif?). Kejadian seakan berulang lagi ketika musik pop Indonesia dibanjiri dengan apa yang disebut dengan pop melayu seperti Kangen Band. Well, bagaimananya terus disebut sebagai melayu juga entah asalnya. Padahal yah pop saja dengan cara pembawaan nyanyi mendayu-dayu ditambahkan cengkok vokal yang biasa didengar pada lagu dangdut.
Kalau katanya musik itu universal, yah tunggu dulu deh. Masak iyah Glenn Fredly harus disandingkan dengan Wali? —Terus gue diprotes kalau Glenn Fredly itu Jazz bukan Pop. Tapi tunggu dulu, masak sih lagu Sekali Ini Saja itu nge-Jazz? — Lucu sih tapi ya juga menarik. Bisa jadi ini cuma gengsi aja sih. Debat panjang tak berujung tentang mana yang musik pop sebenernya tidak perlu. Intinya musik pop mau itu yang kreatif yang urban atau yang cengeng hingga alay telah sukses menghibur masyarakat dan juga mendatangkan uang bagi penyanyinya, pencipta lagu dan juga produsernya dari manggung ataupun produksi rekaman. Mengutip tulisan Remy Sylado dalam majalah Prisma terbitan tahun 1977,
“Para cendikia musik yang agak punya latar belakang klasik, mencela habis pop sebagai seni-seni yang istilah Inggrisnya: dumb, vulgar, cheap, tasteless, rough, crude, degrading, uninspired …Musik pop adalah musik niaga. Maka jika pemusik pop diminta berfikir, mereka akan berfikir tentang laba. Orang yang mencipta, menyanyi, dan jadi cukong untuk merekam lagu pop, adalah orang yang tak memikirkan soal apakah yang direkamnya itu punya nilai etis, dan apakah seni itu tahan uji terhadap sebuah kritik yang artinya estetis atau tidak. Yang difikirkan adalah bagaimana jika rekaman itu rampung dan diiklankan selama sebulan di TVRI dengan biaya Rp. 2,5 juta, lantas darinya ia mendapat laba Rp 25 juta.”
So kenapa gengsi? Coba deh dengerin satu-satu di playlist berikut: