Music Streaming: Penyelamat atau Pengkhianat?

My name is Widi Asmoro.

Maraknya music streaming dinilai industri musik bisa menjadi celah bentuk baru pembajakan sementara penggemar musik menilainya sebagai kemudahan menemukan lagu jenis baru. Diluar negeri sudah banyak bermunculan layanan music streaming seperti Lala yang dibeli oleh Google, Rhapsody, Imeem, dan sebagainya. Grafik diatas menunjukkan jumlah pengunjung dari masing-masing situs pada kurun waktu 2008-2009 dari compete.com.

Radio konvesional memanfaatkannya untuk membuat internet radio dengan music streaming sebagai sarana untuk menjangkau pendengarnya lebih luas. Radio konvensional terbatas pada jaringan frekuensi tertentu hingga wilayah yang terbatas, terutama radio bergelombang FM (frequency modulation). Artinya dengan streaming jumlah pendengar radio tersebut akan semakin bertambah dan menjadi modal bagi para Account Executive menjual slot iklan di radionya ke para advertiser.

Namun industri musik melihatnya tidak demikian. Dengan music streaming, secara tidak langsung radio mengeruk keuntungannya sendiri dengan menggunakan musik yang diperdengarkan. Apalagi jika music streaming radio tersebut rupanya dilakukan oleh radio-radio bawah tanah yang tidak punya hak siar. Memang tidak bisa dihindarkan lagi karena kemudahan teknologi sekarang tiap orang bisa membuat radio lewat streaming internet. Industri musik melihat hal ini membahayakan dan dapat menimbulkan kerugian karena melanggar hak cipta seperti halnya pembajakan.

Hal tersebut terungkap saat konfrensi Digital Music Forum East yang berlangsung di New York hari Kamis lalu, 24 Februari 2011. Russ Crupnick, President NPD – firma yang bergerak pada riset analisa pasar, memaparkan konsumer musik di tahun 2010 telah mendengarkan musik selama 19,7 jam dalam seminggu, ini lebih besar dibandingkan durasi tahun 2009 yang mana tercatat hanya 18,5 jam seminggu. Ironisnya, pembeli musik atau konsumennya hanya tercatat 50% dari konsumer pendengar musik. Ini merupakan penurunan dimana tahun 2006 bisa mencapai 70%. “Industri musik telah kehilangan 20 juta pembeli musik hanya dalam kurun 5 tahun,”  tandas Crupnick.

Beda halnya dengan Aquarius Musikindo yang melakukan streaming di http://radio1.idws.us:8108/listen.pls menganggap music streaming sebagai salah satu bentuk promosi seperti yang diungkapkan Eldickson, staff  Digital Aquarius Musikindo. Indie label asal Indonesia, Demajors, nggak tanggung-tanggung untuk bikin fasilitas streaming dengan membeli domain http://demajorsradio.com/ meskipun agak aneh karena lagu-lagu yang di stream di radio ini bukan hanya lagu-lagu dari labelnya.

Telkom Indonesia punya layanan streaming yang legal dengan bekerjasama dengan label rekaman di Indonesia. Ada juga http://www.streamstation.com milik PT. Sibernetika Indonesia ini menawarkan fasilitas music streaming legal dan tarifnya masih gratis.

Isnan, remaja tanggung bermukim di Solo, menikmati layanan streaming dari Trax on Sky yang dipanjarkan melalui http://www.traxonsky.com/Yudhi Arfani, remaja galau asal Cileduk, menikmati streaming dari Lastfm.com namun ketika Lastfm menerapkan langganan berbayar, Yudhi pun urung memakai streaming tersebut. Namun kedua remaja tersebut mengakui menikmati streaming untuk memperluas khasanah musiknya.