Selama masa karantina mandiri ini, praktis semua kegiatan saya dilakukan dari rumah.
Dari bekerja kantoran hingga latihan musik semua dipindahkan ke area pojokan di ruang keluarga kami. Yaitu tempat kerja saya. Hampir semua jadwal meeting saya lakukan secara online, baik hanya dengan bertelpon atau lewat video call. Saya tau kita semua beradaptasi terhadap situasi ini.
Ada suatu yang saya rasakan setelah menjalankan segala aktivitas yang tadinya di luar rumah menjadi dari rumah. Yaitu ruang privasi saya menjadi sangat terbuka.
Saya berusaha untuk menyalakan kamera setiap kali melakukan pertemuan secara online. Kenapa? Ini juga agar melatih mental saya agar terus merasakan bahwa pertemuan virtual ini tetap merupakan pertemuan penting. Dan lawan bicara saya harus tau kalau saya ada dan menyimak diskusi yang berlangsung. Karena kamera menyala, praktis saja orang lain dapat melihat apa yang ada di sekitar saya selain saya. Saya sendiri jadi tahu kalau si A misalkan, dia suka membaca buku. Atau si B ternyata menyimpan minat koleksi terhadap sesuatu. Malah terkadang ada anggota keluarga yang sempat tampak di kamera. Ini yang buat saya berbahaya, karena Vee biasanya kalau di rumah ya pakaiannya santai, jadi setiap saya akan melakukan video call, saya pastikan agar dia tidak lalu lalang di belakang saya.
Lalu juga selama berdiskusi. Biasanya nih kita berdiskusi secara tatap muka dan dibatasi empat dinding, karena situasi sekarang banyak hal yang harusnya bisa dibicarakan jadi urung dibahas. Karena ruang kerja saya berada di pojokan ruang keluarga jadi semua pembicaraan bisa terdengar oleh orang lain. Untuk hal yang rahasia sekali, saya gunakan earphone dan sedikit berbisik-bisik. Tetapi sering kali saya gunakan speaker biasa saja karena meeting tersebut ya bersifat biasa saja. Nah ini dia yang kadang malah jadi runyam. Karena beberapa kolega punya kebiasaan menggunakan “F words” atau “D words”, selama meeting. Jadinya saya harus berhati-hati supaya tidak memancing dia mengeluarkan kata-kata tersebut. Kalaupun sempat terlontar, ya sudah lah!
Kelas musik saya juga dipindahkan menjadi online. Ini tantangan sekali karena dibutuhkan kecepatan internet yang stabil untuk dapat melakukan interaksi yang maksimal. Saya jadinya tau kelebihan dan kekurangan beberapa aplikasi untuk video call. Ini benar-benar melatih kesabaran. Cara lain yang saya lakukan adalah dengan meminta guru saya mengirimkan materi latihan yang direkam terlebih dahulu. Supaya nanti saat sesi berlangsung, biar saya saja yang memutarnya dari tempat saya dan dia tinggal mengevaluasi dari tempatnya. Ini pun juga masih terkendala karena meskipun kami sama-sama tinggal di Singapura, tetapi koneksi internet ya suka turun naik juga.
Pastinya tiap orang punya caranya sendiri untuk beradaptasi pada keadaan ini. Saya rasa ini sangat menyenangkan sekali untuk mengeksplorasi hal yang baru. Dalam tim kami pun punya ritual setiap menjelang siang yaitu berbagi dari rumah. Dalam salah satu sesi, saya berbagi cerita tentang alat musik tradisional Angklung. Saya juga memainkan beberapa potongan lagu popular menggunakan Angklung. Apresiasi mereka cukup senang. Mereka berasal macam-macam negara.
Saya merasa lebih dekat lagi dengan teman-teman dibandingkan sebelumnya. Dari menganalisa apa saja yang tampak di latar belakang lewat kameranya, saya jadi punya gambaran tentang karakter orang lain. Dan juga keterbukaan dengan saling berbagi membuat kita semakin mengenal.
Walaupun saya berharap situasi akan kembali normal. Tapi di sisi lain, saya pasti akan merindukan saat-saat berbagi dari rumah seperti ini.